Gemah Ripah Loh Jinawi With Demokrasi (?)

“Demokrasi menemukan dasar teoritis melalui empirisme.” Begitulah Bertrand Russell bicara. Saya tidak tahu persis bagaimana kutipan pastinya. Setidaknya kutipan itulah yang dipergunakan Giovanna Borradori yang telah dialihbahasakan Alfons Taryadi dalam buku Filsafat Dalam Masa Teror terbitan Kompas pada 2005.

Buku Filsafat Dalam Masa Teror punya latar belakang kerangka penghancuran Twin Tower pada 11 September 2001. Dan buku susunan Giovanna ditujukan untuk merangkum pandangan dua filsuf kontemporer Eropa, Habermas dari Jerman dan Derrida dari Perancis, untuk menanggapi sekaligus mengambil peran menjawab tantangan zaman secara filosofis.

Melalui karangan bebas ini saya tak hendak menyajikan ulasan yang mendalam tentang terorisme atau pun tentang buku Giovanna yang belum selesai saya baca. Apa yang saya tuliskan adalah petualangan menjelajah kutipan Bertrand Russell yang dipergunakan untuk menganalisa kontekstualisasi demokrasi di indonesia.

*

Problematisasi persoalan bermula dari kutipan Bertrand Russell yang menyatakan demokrasi menemukan pendasaran teoritis pada empirisme. Apa yang disampaikan Russell begitu mempesona, bagi saya. Legitimasi kekuasaan bukan lagi bersandarkan titah para dewa yang entah berada di mana dan entah bagaimana pula publik mendapatkannya serta mempertanggungjawabkannya, melainkan bersandarkan pada ukuran objektif yang bisa diklarifikasi, verifikasi, bahkan, pada titik paling ekstrem digugat. Legitimasi ‘fiktif’ kekuasaan yang bersumber dari sabda dewata yang pemalu berpindah ke level ‘fakta’ yang bersumber pada rekaman objektif atas segala data yang diperoleh. Perhitungan suara, kertas suara, kotak suara, contrengan atau malah coretan pada kertas suara adalah bukti bahwasanya pandangan empirisme yang dideklarasikan Jhon Stuart Mill dari Inggris ambil andil dalam mendasarkan sebuah kebenaran teoritis bagi ‘budaya ilmiah politik’ demokrasi.

Kebenaran koherensi a la kaum rasionalis semisal Descartes tak berlaku di ranah demokrasi. Kebenaran koherensi tak menjamin keabsahan kekuasaan yang dihasilkan oleh industri demokrasi. Kebenaran koherensi yang berpijak pada logika silogisme Aristotelian harus gugur dengan pola pikir induktif, yang juga digagas Aritoteles untuk kemudian diradikalkan sebagai paradigma baru oleh Fancis Bacon pada pengakhiran Abad Pertengahan untuk kemudian diaksentuasikan secara baru oleh Jhon Stuart Mill. Paham kebenaran yang ditawarkan Empirisme, kebenaran korespondensi, adalah basis utama yang memampukan industri demokrasi menghasilkan produk kekuasaan yang absah. Kebenaran kekuasaan teosentrisme yang berlandaskan kebenaran koherensi digugat oleh empirisme. Kebenaran kekuasaan hanya ada apabila kebenaran dimaksud adalah empirik, berlandaskan pengalaman inderawi.

Menyikapi Pemilu yang tengah terjadi di indonesia, kebenaran empirik mendapat tantangan dari suatu hal yang irasional, yakni kepercayaan. Saya sempat menyaksikan di kawasan Kuningan Timur, Jakarta Selatan, dari 300 pemilih yang terdaftar, tak sampai 100 pemilih yang menyontreng. Bahkan di jalan-jalan ibukota saya sempat melihat jari-jari dari perempuan dan lelaki yang saya perkirakan cukup umur menyontreng tak saya temukan tinta di jari mereka. Perkiraan saya, 10 dari 10 orang yang saya lihat di jalan tidak menyontreng. Bahkan di salah satu jaringan komunitas dunia maya, ada teman yang menyatakan bahwa kepercayaan dia terhadap para caleg sudah tak ada lagi.

Adanya kasus ketidakpercayaan, yang saya temui terjadi dalam bentuk simbolisasi banyaknya kertas suara tersia (barangkali ada yang tidak hadir karena sudah meninggal dunia, tetapi berapa persenkah itu?), memindahkan persoalan kredibilitas kuantitatif pada kredibilitas kualitatif. Kredibilitas kualitatif sempat diajukan Arif Budiman dengan mempopulerkan slogan ‘Golongan Putih’. Persoalan kualitatif yang bersumber pada lema ‘kepercayaan’ menjadi tandingan atas ‘kebenaran’. Kekuasaan tidak lagi semata-mata persoalan ‘kebenaran’ objektif korespondensial, melainkan menyangkut persoalan ‘kepercayaan’ subjektif-rasional. Sayangnya, ‘kepercayaan’ subjektif-rasional tak cukup kuat menggagalkan ‘kebenaran’ objektif korespondensial sebagaimana ‘kebenaran’ objektif korespondensial mengalahkan kebenaran yang digagas berdasarkan logika silogisme Aristotelian dalam sistem teokrasi.

Meninjau kembali demokrasi di indonesia dengan kompleksitas hubungan antara ketidapercayaan terhadap pelaku (yang secara tidak langsung dengan sendirinya menusuk pada ketidakpercayaan terhadap sistem demokrasi) semisal partai dan para caleg sekaligus keengganan (elit) kekuasaan untuk menghapus kebenaran korespondensial empirik yang diperoleh melalui sistem demokrasi melahirkan eksistensialitas absurd a la Camudian. Proyeksi harapan sebagaimana yang dicita-citakan dalam idealisasi ‘satu menit di bilik suara menentukan 5 tahun masa depan indonesia’ sudah tak ada beda dengan bualan besar tong kosong yang nyaring berbunyi.

Krisis dan kegilaan demokrasi tadi hendak dipecahkan para intelektual terkemuka indonesia dengan mengajukan penggunaan hati nurani sebagai pengendali keliaran hajat politik menjadi banal. Syafei Maarif setidaknya berupaya menggaungkan hal tersebut. Apa yang hendak dilakukan Buya Maarif saya tafsir sebagai upaya membumikan spiritualitas transendental keberagamaan dalam kehidupan politik bernegara yang semakin dangkal dan tak berbudi. Apakah cara ini terbukti efektif? atau malah mencoba menghidupkan romantisme yang telah ada dan berlalu dalam sistem teokrasi yang ternyata diam-diam dipergunakan penguasa, para raja atau sultan, untuk menyelipkan pisau ke jantung para kawulanya? atau malah masih sebuah langkah persiapan untuk membangun sintesa yang lebih komprehensif setelah periode sekularisasi negara yang secara praktis menghancurkan aspek transendental dan imanen dalam sebuah otoritas? atau memang kita tak perlu berkomentar lebih banyak, sebab pada akhirnya: perkara masa depan sudah selesai didefenisikan oleh Albert Camus: tidak ada hari esok alias tidak ada yang namanya harapan; dengan kata lain: terimalah kondisi bahwa sampai kapan pun tidak ada kondisi yang disebut sebagai ‘sejahtera,’ ‘gemah ripah loh jinawi’.


April 2009

No comments:

Post a Comment