Maret: Dari Gilson hingga Fromm

“God and Philosophy”-nya Ettienne Gilson memulai Maret saya kali ini dan “Revolusi Pengharapan”-nya Erich From mengakhiri hari ke-31. Di antara keduanya, saya melewati Maret dengan kejutan dari “Kajian Tentang Manusia”-nya Karl Polanyi, “Fateless”-nya Imre Kertész, lalu “Pembawa Matahari”-nya Abdul Hadi W.M, disusul “Jantung Lebah Ratu”-nya Nirwan Dewanto, juga “Hari dan Hara”-nya Subagio Sastrowardoyo, kemudian “Thoughts in Solitude”-nya Thomas Merton (buku yang paling menarik bagi saya dalam bulan ini), lalu kajian “A Philosophy of Human Hope” dari Joseph Godfrey, dan “Problematic Man”-nya Gabriel Marcel.

Sinbad dan Cara Membaca Realitas

Dalam petualangannya yang pertama, Sinbad, si pelaut yang bosan dengan kehidupannya di kota Baghdad lalu memutuskan menjadi pedagang sekaligus pelaut, bersama dengan teman-temannya berhenti di sebuah punggung paus yang mereka kita sebuah pulau yang dapat disinggahi, kemudian menyalakan api sehingga paus itu merasa kepanasan lalu bergerak menyelam ke dasar lautan meninggalkan Sinbad dan kawan-kawannya dalam kepanikan. Dan (kita tahu) kepanikan melahirkan dua hal, kematian (dan banyak teman-teman Sinbad berjumpa dengan kematian) dan sebatang kayu yang mengapung (kita dapat menyebut ini sebagai keberuntungan dan Sinbad berhasil berpegangan pada kayu yang mengapung itu hingga ia terdampar di sebuah pulau). 

Seorang pembaca kisah-kisah fantasi, setelah membaca petualangan pertama Sinbad itu, menuliskan dalam catatan hariannya: kebosanan dapat mengantarkan siapa saja kepada petualangan yang menakjubkan, yang dapat berujung pada kematian (sesungguhnya, kematian tidak peduli apakah orang itu tengah bosan atau tengah bertualang; kematian pasti datang) atau berjumpa sebatang kayu yang mengapung di lautan luas (meski pada akhirnya harus terdampar di tempat yang tidak diketahui--namun, hidup tetap saja lebih baik dari mati; meski mati belum tentu lebih buruk dari hidup).

Zawawi dan Yang Ditolehnya



Barangkali, pekan lalu, saya berjumpa Pak Zawawi Imron. Sebetulnya, saya hanya mau menyapa--namun entah mengapa pula malah pertanyaan demikian yang meluncur: "Pak Zawawi, boleh tanya?" (Pak Zawawi yang duduk di kursi depan saya, menoleh ke belakang, ke arah saya, lalu bilang, "Mau tanya apa?") Saya melanjutkan kata, "Bisa cerita tentang Ibu?" (saya mengacu kepada salah satu sajaknya). Pak Zawawi membalas (masih dengan wajah yang menoleh ke belakang), "Saya akan jawab pertanyaan Anda, namun jawab dulu pertanyaan saya. Apakah di dekat sini ada yang jual makanan kecil? Saya lapar." Lantas, saya pun menunjuk ke sebuah toko makanan kecil yang tersembunyi, meski hanya berjarak sekitar 15 langkah kaki. Tentang Ibu, Pak Zawawi bilang, "Itu sajak saya tulis waktu saya berusia 16 tahun, 1962, di Banyuwangi. Sajak itu selesai tahun 1966, empat tahun kemudian." Lalu (karena masih terus menoleh ke belakang) Pak Zawawi berkata, "Ah, bagaimana kalau kita pindah duduk, di belakang sana ada dua kursi kosong, kalau begini terus, tidak enak ngomongnya." Kami pun berpindah duduk ke belakang, namun tidak sempat bercerita lebih banyak dan panjang--entah mengapa, saya juga tidak tahu.

Akal, Kail

Jika saja ikan punya akal, ia pasti tak ragu acuhkan umpan pada kail.