MEMBACA AMPUNAN DAN MAAF


Mungkin, apa yang saya tulis hanyalah kegelisahan saya belaka. Kegelisahan yang juga bisa dikata cuma subjektifitas saya belaka. Kegelisahan karena merasa ada yang tidak beres, dan subjektifitas karena merumuskan dugaan sebagai kesimpulan yang benar dan tepat, sekaligus indah.

Kegelisahan itu berangkat dari dua kata, maaf dan pengampunan. Dua kata itu, menurut saya sudah mengandaikan eksistensi subjek dan objek. Dalam tingkat praktis, subjek dan objek dapat pula dinyatakan sebagai dua individu.

Ada individu yang menempati posisi pemberi maaf, yang lain menempati posisi meminta, sekaligus punya potensi menerima maaf. Rasanya, hampir-hampir mirip dengan transaksi ekonomi. Tapi, apakah maaf itu sebuah produk atau benda, tentulah patut dipikirkan lebih teliti. Dan bila maaf adalah benda, apakah maaf itu benda yang konkrit atau abstrak? Entah maaf itu benda atau tidak, konkrit atau tidak, saya pikir maaf bisa hadir ketika ada kerja, yakni meminta, diikuti dengan potensi memberi atau menolak, yang berakhir pada potensi menerima tanpa atau.

Pengampunan, hampir-hampir sama dengan maaf. Tapi, saya merasa ada perbedaan halus antara maaf dengan pengampunan. Apa yang saya pikirkan akan perbedaan pengampunan dengan maaf berlandaskan pola pikir spekulatif, pola pikir, yang menurut saya taklah dalam. Entahlah, mungkin ini disebabkan saya yang berpikir, tapi bila orang lain yang berpikir, mungkin yang muncul bukan pola pikir spekulatif, melainkan pola pikir analitik.

Beda pengampunan dengan maaf, menurut saya terletak pada setara atau tidaknya posisi dua individu. Di dalam maaf, yang bisa disetarakan dengan transaksi ekonomi, dua individu ada dalam posisi yang sederajat, dalam bahasa-bahasa pengusung gagasan demokrasi disebut egaliter. Namun, pengampunan tidak seperti itu. Dua individu yang berada dalam konteks pengampunan ada dalam posisi hierarkis; ada yang menempati posisi super-ordinat, yang lain pada posisi sub-ordinat.

Bicara soal hierarkis, bicara soal kekuasaan, dan bisa pula berhubungan dengan deviasi kekuasaan itu sendiri, yakni kekuatan. Di dalam struktur yang begitu, tentu mempersamakan pengampunan dengan transaksi ekonomi adalah kekeliruan, untuk tidak mengatakan predikat yang rendah, yakni kesalahan yang berujung pada ketololan.

Ada fakta, yang saya sadari telah dengan semena-mena saya pergunakan untuk memperkuat argumentasi saya. Beberapa waktu lalu, di tahun 2008, Perdana Menteri Australia Kevin Rudd meminta maaf kepada suku Aborigin. Kevin Rudd, mewakili negara, meminta maaf kepada suku Aborigin. Dari dalam negeri, presiden punya hak untuk memberi amnesti. Amnesti adalah pengampunan.

Dari fakta yang saya pergunakan sebagai argumentasi penguat, persoalan ampunan dengan maaf semakin tegas. Maaf mengandaikan dengan sendirinya si individu yang menempati posisi meminta ada dalam konteks telah berbuat salah. Sedang si pemberi maaf, menurut saya, tidak bisa dikatakan berada dalam konteks benar, melainkan si pemberi maaf ada di dalam konteks benar-dan-salah, atau benar-atau-salah, atau benar, atau salah. Yang jelas, si peminta maaf ada pada konteks salah, dan karena itu, saya lebih memilih si pemberi maaf ada dalam konteks korban dari kesalahan si peminta maaf. Mungkin, dikarenakan konteks korban inilah si pemberi maaf berada dalam situasi dilematis. Apakah meluluskan maaf, atau menolak. Dilematis itu, menurut saya, disebabkan pemberi maaf masih mencari konteks bagi posisinya sendiri, apakah benar-dan-salah, atau benar-atau-salah, atau benar, atau salah. Saya tidak bisa memastikan, apakah dengan memberi maaf, si pemberi bisa dikategorikan menempati posisi benar? Saat ini, sulit bagi saya mencari validasi pembenaran itu, sekalipun dalam tingkatan preposisi. Bersandarkan pada penalaran saya, si pemberi maaf adalah korban dari kesalahan si pemintaan maaf.

Pada persoalan ampunan, bagi saya terang dengan sendirinya. Konteks hierarkis ampunan yang melingkupi dua individu menjadikan posisi tiap individu tegas. Ada yang menempati posisi super-ordinat, yang lain pada posisi sub-ordinat. Yang menempati posisi super-ordinat dengan sendirinya punya kekuasaan yang bisa membias menjadi kekuatan. Sedang yang menempati posisi sub-ordinat, punya ketidak-kekuasaan dan ketidak-kekuatan. Otoritas, dengan sendirinya, menjadikan si pemilik otoritas selalu berada dalam posisi benar. Sedang yang tak punya otoritas, harus ikhlas menempati posisi salah. Keberadaan konteks hierarkis ampunan, menjadikan posisi individu jelas. Dan, menurut saya, tidak ada pengampunan yang bisa ditolak, pada tataran realitas-idealistik. Dengan kata lain, pada tingkatan realitas-deviatif, saya pikir ada pengampunan yang bisa ditolak. Catatan bagi kasus pengampunan pada tingkat realitas-deviatif, yang punya potensi ditolak, ada pada persoalan, apakah si penerima ampun sudah menjalani posisi sebagai si peminta ampun. Artinya, apakah individu yang menempati posisi sub-ordinat sudah melakukan kerja: meminta ampunan; sebab kerja bakal berujung pada eksis atau tidaknya benda yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut. Ah, saya tak ingin lagi mengulang pertanyaan yang sama, apakah ampunan itu benda atau tidak; dan bila ampunan itu benda, apakah ampunan itu konkrit atau abstrak. Bagi saya, yang jelas: ampunan dan maaf itu ada. Selebihnya, saya serahkan pada sidang pembaca. Apakah ampunan dan maaf itu masih perlu?

Februari 2008

No comments:

Post a Comment