HARIAN DE' MELLO

Hari ini, Sabtu, 16 Juli 2005.

Kemarin, Jumat, 15 Juli 2005. Pukul 03.00. Sesampai di rumah kontrakkan, biasanya niatan tidur belum tentu bakalan ada, meski sudah seharian angin dini permulaan hari menerpa. Betapa tidak, saban hari saya harus mengojeg dari jam delapan malam hingga setengah tiga pagi. Jadi, setiba di kontrakkan--lebih baik saya menyebutnya sebagai rumah, tanda sujud syukur saya bagi Ia, Maha Pencipta--saya hanya bisa melihat pulas Sumi serta lelap dua buah hati.

Mengisi waktu menjelang serbuan kantuk, saya membaca harian bekas. Ya, harian yang seharusnya habis dilahap bersama kopi pahit pagi hari serta kretek tembakau gurih, dan bila ada rezeki tambahan tentulah dipadu sepiring gorengan ubi. Tapi, kejadian itu hanya terjadi sekali waktu dalam sepuluh ribu kali pengharapan. Alasannya apa, tentulah anda sudah mengetahui. Bahkan lebih fasih menjelaskan.

Kebetulan, harian bekas yang tersedia tidak terlalu telat, terbitan Kamis, 14 Juli 2005. Padahal, biasanya harian yang tersedia berasal dari terbitan dua atau tiga yang lalu. Asalnya, bermacam-macam. Tapi, umumnya dari loper koran tetangga.

Sebenarnya, niatan membaca beberapa berita sudah ada. Hanya sekadar mengingin tahu apa sih yang sudah terjadi. Biasanya, sembari nonton televisi. Maksud hati, biar suasana tidak sepi. Asyik aja bila ada suara televisi, seakan ada seseorang yang menemani.
Saya pun menyalakan televisi. Begitu tombol listrik masuk posisi 'on', sambil berbalik hadap saya ambil rimot kontrol yang ada di atap layar monitor. Tiga langkah kemudian badan saya pun mengarah ke televisi. Eh, ternyata muncul cuma bintik-bintik. Saya langsung pindah ke nomor lain, lima, stasiun SCTV. Eh, masih sama saja. Pindah lagi. Ini kali nomor 12. Lativi. Yang ada barisan warna pelangi. Ya, pindah lagi. Nomor 8. Indosiar. Eh, balik jumpa bintik-bintik. Pindah lagi, pindah. Pindah lagi, pindah lagi, pindah, berkali saya tepuk lantai, pindah, pindah lagi, nomor enam, nomor pindah nomor sebelas, lagi, lagi, pindah lagi nomor satu, pindah, balik balok rimot, pindah lagi, balik, mukul-mukul rimot ke lantai, nomor 0, ke AV, pindah lagi, pindah lagi, makin dekat ke tivi, pindah, menggoyang antena dalam, goyang lagi, lagi, pindah lagi, nomor tiga belas, hingga saya keluar rumah, memanggil tetangga. Ternyata, tivi mereka pun mengalami nasib serupa. Pindah lagi, ke rumah tetangga lainnya. Tivinya malah tak bisa nyala. Saya larilah ke rumah Pak Lurah. Saya tanya sebentar, “Pak, lagi ngapain. Numpang nonton tivi dong?” Pak Lurah menjawab, “Ah, kamu ada-ada saja,” langsung ia masuk rumah. Saya balik pergi ke rumah. Sumi masih saja tertidur. Tergesa saya bangunkan. Ia mengucek mata, “Ada apa?” Melihat matanya terbuka, saya langsung berujar perlahan, “Masih ngantuk ya?” Harian yang tanpa sadar saya bawa berlari pun akhirnya terlepas dari genggaman. Jatuh ke lantai kontrakkan. Ble.. b..bug..h.!

No comments:

Post a Comment