Ecce Nietzsche

Fatum. Takdir. Chairil—seorang temanku yang berkepala botak dan menyimpan jendela sekolah yang rusak, lampu disko, kitab suci, tanda seru, gonggong anjing, hingga kabar duka dalam tengkorak plontos itu suka memanggil dia dengan sebutan: Anwar—menulis: nasib adalah kesunyian masing-masing.

Fatum. Takdir. Nietzsche—seorang temanku, selalu saja beku mendiam setiap kali ia mendengar nama itu. “Amor fati.” Puncak filsafat, demikian dia bicara, adalah ketidakpastian—paling tidak, adanya secercah kesadaran akan ketidakpastian. Ketika aku bertanya: apakah itu keraguan. Dia hanya menggelengkan kepala. Sampai sekarang aku tidak tahu apa makna gelengan kepala itu. Apakah hendak berkata, “Bukan itu,” atau “Engkau tidak akan mengerti,” atau “Usaha mencari penjelasan adalah sia-sia,” atau…,—tetap saja aku tak bisa menjawab.

Fatum. Takdir. Seorang temanku yang lain—meski ia tak pernah menyebutkan nama dirinya, persahabatan kami tetap berlangsung hangat tanpa beban kecurigaan—bilang, “Agar kita sampai pada situasi buruk yang tak terelakkan, biarkanlah itu menjadi tugas takdir.” Aku mendengar kalimat itu sebagai kesempurnaan. Hingga, suatu ketika ia menambahkan kalimat lain atas kalimat yang pernah ia ucapkan kepadaku di masa lalu: “Keputusan, barangkali, juga… pikiran, kita, manusia, itu persiapan, ya persiapan untuk menghadapi sesuatu, hmmm…, atau tepatnya situasi, situasi yang buruk.” Ia menarik nafas panjang dengan susah payah, “Tragedi,” sambil menutup mata seakan hendak tidur. Setelah itu, percakapan antara aku dan dia berlangsung dalam hening kenangan dan airmata.

Fatum. Takdir. “Nasib adalah kesunyian masing-masing—barangkali, sebuah kesia-siaan yang berakar pada tragedi.” Aku hanya menatap sepi jalanan kota, lampu jalan yang menyala malas, dan seekor kucing dengan mata menantang!

No comments:

Post a Comment