KALIGRAFI TUBUH PUTU

Lantas, apa yang istimewa dari lukisan Putu? Begitulah pertanyaan yang muncul di dalam benak saya saat menyaksikan ragam karya lukisan dan instalasi Putu Sutawijaya yang dipamerkan di Galeri Nasional. Saya membaca pengantar dari kurator Jim Supangkat yang berintikan ‘tubuh’. Putu mengeksplorasi tubuh, tubuh yang hidup dalam buana tari Sanghyang. Tubuh dan tarian. Barangkali, karena kemampuan kecerdasan saya tidak lumayan, saya menderita kebingungan. Apa hubungan ‘tubuh’—dalam konteks filsafat kontemporer mendapat begitu banyak beban makna, mulai dari tubuh alami, tubuh konstruksi sosial, hingga tubuh sebagai kapital—bila dielaborasi dengan tarian kuno Sanghyang yang tak pernah saya lihat? Jim Supangkat hanya memberikan bantuan: tubuh dalam lukisan Putu mengadopsi kelihaian tubuh saat penari Sanghyang mengalami trance; trance mengakibatkan penari berada dalam keadaan tidak sadar. Karena trance, penari Sanghyang pun mampu menggerakkan tubuh di luar batas gerakan yang dapat ia lakukan dalam keadaan sadar. “Selain kesadaran alam sadar, ternyata tubuh pun hidup dalam tatanan kesadaran alam tidak sadar. Tubuh…”

Sedikit saya paham yang hendak disampaikan Jim, meski tak sampai mendalam. Barangkali, hanya kulit permukaan. Tak lebih. Dan berbekal sangu dari Jim, saya menjelajah bentala “Legacy of Sagacity.”

*

Di depan lukisan ‘Tangga Penuh Misteri’ saya termangu. Aku tak paham maksud Jim. Aku pun tak paham maksud Putu dalam lukisan itu. O-…, sebelum lupa: Putu Sutawijaya pada 27 November nanti resmi menapak usia tigapuluhdelapan tahun. Aku melangkah, menuju pigura lainnya dan masih mendapati perasaan yang serupa. Tak paham maksud Jim, tak paham maksud Putu. “Ah, daripada pusing memikirkan maksud mereka, lebih baik aku nikmati saja warna dan gambar yang ada dalam pigura. Tak usahlah bersusah-susah mencari makna.” Lalu, aku menarik nafas panjang, meredakan otot tegang di leher dan di pundak.

*

‘MATAHARI KE MATAHATI’. Saya termangu di depan lukisan Putu. Saya melihat ada yang tak wajar dalam lukisan Putu. Saya perhatikan, garisan kuas yang membentuk figur tubuh tampaknya model goresan yang tak asing. Saya merasa akrab dengan model goresan begitu. “Aih, kaligrafi.” Saya teringat Festival Kota Tua yang digelar di Taman Fatahillah, daerah Kota, Jakarta Barat, pada 22 November lalu. Ada stand VOC Galangan yang menawarkan kaligrafi huruf Cina. Saya sempat melihat mereka mempertunjukkan kepiawaian menggores kuas di atas kertas. Citra goresan yang saya amati di stand VOC Galangan ada kemiripan dengan goresan kuas yang saya amati pada lukisan Putu. Ah, saya pun sadar. Kaligrafi. “Tinta Cina.” Lukisan tinta Cina. Pada lukisan Putu, saya menghirup aroma kaligrafi dan lukisan tinta Cina. ‘MATAHARI KE MATAHATI’.

*

Di depan ‘JUMPING II’ aku kembali termangu. Mengingat Jim, mengingat Putu. Di depan instalasi satu sosok tubuh yang bertumpu pada dua tangan. Sosok yang hendak mencoba kayang (atau malah sudah selesai kayang dan hendak kembali dalam posisi normal?). Ah, memang deskripsi dengan kata-kata sukar juga. Seimbang dan takseimbang.

*

Aku membaca harian ibukota. Kompas, 23 November 2008. Putu mengaku bahwa idiom lukisannya berfungsi menyampaikan irama gerak kepada publik. “Irama gerak. Kaligrafi. Lukisan tinta Cina di atas kertas.” Menurut aku, Putu memadukan teknik kaligrafi dan lukisan tinta Cina di atas kertas menjadi di atas kanvas dengan mengadopsi aksara tubuh dalam tarian Sanghyang.

*

Lantas, apa yang bersembunyi dan menari di dalam kaligrafi? … tubuh?

November 2008

No comments:

Post a Comment