JUDUL KELIRU BIKIN KERUH

-Tafsir Yang Hilang Dalam Terjemahan 'Judul Buku Amartya Kumar Sen-

Terus terang, aku tak punya niat meremehkan kerja Arif Susanto. Aku pun tak tahu berapa lama waktu yang dia sisihkan dalam hidupnya untuk menerjemahkan buku karangan Amartya Kumar Sen. Barangkali, hitungan bulan sudah dia habiskan untuk menerjemahkan Identity and Violence: The Illusion of Destiny. Meski begitu, tetap ada riak-riak gerundelan kecil dalam perasaanku, yang tak bisa kubantah, kala membaca buku hasil terjemahan Arif Susanto. Penyebabnya hanya satu saja, yakni perkara judul.

Aku sadar, persoalan kritik terjemahan bisa menjadi suatu yang sia-sia. Barangkali, aku bisa dianggap tak menghargai kerja orang lain yang bersusah payah menjembatani jurang bahasa antara penulis dengan pembaca. Di sini, aku menegaskan kembali, kritik yang aku ajukan dalam artikel ini sama sekali tidak punya tendensi untuk menginjak-injak kemampuan berbahasa Arif Susanto. Bila dibaca secara keseluruhan, harus aku akui Arif Susanto sudah mengerahkan upaya optimal untuk menerjemahkan buku karangan Amartya Kumar Sen. Namun, aku melihat ada satu kelemahan proses penerjemahan, yang mungkin saja punya dimensi kesengajaan. Kalau yang terjadi begitu, maka segala apa yang aku tuliskan di sini bakal menjadi bumerang buat aku. Aku bisa saja dicap sebagai orang tolol dan idiot. Namun, bila yang terjadi adalah unsur ketidaksengajaan, maka, aku harap, pembaca tidak memberi stereotip negatif bagi Arif Susanto. Dan aku pun tak bakal memberikan label begitu kepada Arif Susanto. Kerja dia, bagi aku, sesungguhnya mampu menjembatani jurang bahasa antara aku dengan Amartya Kumar Sen. Secara personal, melalui artikel ini, saya mengucapkan salut dan terima kasih atas kerja yang sudah Anda lakukan.

Apresiasi Dan Keberanian

Menurut aku, menerjemahkan bukan persoalan gampang. Ada kode-kode kultural dan intelektual dari penulis yang harus bisa ditransformasikan ke dalam bentuk lain tanpa mengurangi esensi dari kode-kode kultural dan intelektual. Bahkan, dalam tingkatan yang ideal, kode-kode kultural dan intelektual antara tulisan asli dengan terjemahan harus identik, sama seratus persen. Di sini, kerja menerjemahkan menjadi sesuatu yang menakutkan, bahkan bisa-bisa mematikan. Maka, kadangkala diperlukan orang-orang yang berhati berani dan bebal ambil resiko mengambil tanggungjawab kekeliruan yang mungkin muncul. Bicara keberanian, bukan perkara gampang. Setidaknya, ada dua hal yang menyebabkan Aris Susanto mau menerjemahkan buku Amartya Kumar Sen. Pertama, Arif Susanto punya keyakinan bahwa buku karangan Amartya Kumar Sen yang bertajuk Identity and Violence: The Illusion of Destiny adalah sesuatu yang berharga bagi para pembaca di indonesia yang suka bergelut dengan pemikiran-pemikiran kontemporer tetapi memiliki keterbatasan akses bahasa. Kedua, keyakinan akan pentingnya buku tersebut mendorong Arif Susanto keberanian Arif Susanto untuk menerjemahkan buku Amartya Kumar Sen yang bertajuk Identity and Violence: The Illusion of Destiny. Adalah apresiasi yang tinggi terhadap Amartya Kumar Sen dan keberanian intelektual untuk menerabas jurang bahasa merupakan modal batiniah Arif Susanto untuk menerjemahkan Identity and Violence: The Illusion of Destiny yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2006 oleh W.W. Norton and Company, Inc., New York, Amerika Serikat.

Judul Yang Keruh

Arif Susanto menerjemahkan buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny karangan peraih Nobel Ekonomi 1998 Amartya Kumar Sen menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’. Aku pikir, transliterasi judul tersebut mengandung kekeliruan. Dalam konteks ini, kekeliruan hendaknya tidak dipahami sebagai kesalahan. Bagi saya, kekeliruan bukanlah kefatalan, melainkan persoalan presisi. Di sini, penerjemah ibarat atlit panahan. Sebagai atlit panahan, tentunya yang bersangkutan mengetahui target yang hendak dituju, yakni sasaran. Mata panah diarahkan ke target sasaran. Andaikan saja, target sasaran berada di utara. Maka, setiap anak panah yang melesat dari busur pasti menuju ke arah utara, lokasi target bidikan berada. Namun, kadangkala anak panah menancap bukan di titik idaman, melainkan meleset satu, dua, atau tiga sentimeter. Dan konteks penerjemahan, meleset itulah yang saya sebut kekeliruan. Dan itu berbeda dengan kefatalan. Mengacu pada ilustrasi atlit panahan, maka kefatalan terletak bila sang atlit yang menyadari bahwa target bidikan berada di utara, dia malah mengarahkan mata panah ke arah tenggara. Tentunya, kategori meleset tak layak dilekatkan pada situasional begitu. Inilah yang aku pahami sebagai kefatalan. Melalui hasil terjemahan Arif Susanto, aku menyimpulkan bahwa Arif Susanto memang menyadari bahwa lokasi bidikan panah berada di utara dan anak panah yang dia lesatkan memang menuju ke utara, ke sasaran, ke target. Maka, bila ditinjau secara keseluruhan, hasil terjemahan Arif Susanto memang mampu mentransformasikan pemikiran Amartya Kumar Sen ke dalam dunia intelektual indonesia yang memiliki keterbatasan akses bahasa.

۞۞۞

Menurut saya, penerjemahan Identity and Violence: The Illusion of Destiny menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’ menghilangkan suasana gaib tertentu yang termaktub di dalam tajuk gubahan Amartya Kumar Sen. ‘Gaib’ yang saya maksud mengacu pada hilangnya kode-kode kultural dan intelektual yang hendak disampaikan Amartya Kumar Sen.

Sesungguhnya, seturut pertimbangan saya, Identity and Violence: The Illusion of Destiny bisa saja langsung diterjemahkan menjadi ‘Identitas dan Kekerasan: Ilusi Takdir’. Melalui penerjemahan ‘verbal’ begitu, bisa dilacak lanjutan pemikiran yang luar biasa berkelindan di dalam buku karangan Amartya Kumar Sen. Bagi saya, tentunya setelah membaca buku karangan Amartya Kumar Sen, pemaknaan Identity and Violence: The Illusion of Destiny memang ditujukan untuk mengupas sebab-musabab Identitas dan Kekerasan dalam dunia kontemporer. Hasil akhir kajian Amartya Kumar Sen mengerucut di dalam judul bukunya itu, yang kemudian bisa dianggap sebagai tesis Amartya Kumar Sen sendiri, yakni ‘Ilusi Takdirlah yang menyebabkan timbulnya Identitas dan Kekerasan’.

Judul yang diberikan Amartya Kumar Sen, terutama pada kata ‘Destiny’ mengandung kode kultural dan intelektual tertentu. Kode kultural dari ‘Destiny’ tidak lepas dari konteks sosial-politik kontemporer yang berpijak pada kekeliruan Samuel Huntington ketika mendefenisikan bineka peradaban yang menggunakan indikator agama. Adanya agama dengan sendirinya mengandaikan keberadaan Tuhan, dan keberadaan Tuhan dalam tingkat yang paling pragmatis dikenali Takdir. Di dalam bukunya, Amartya Kumar Sen habis-habisan mengkritik teori benturan antarperadaban yang digagas Samuel Huntington dengan mengedepankan agama sebagai garda utama peradaban di Planet Bumi. Berhadapan dengan pemikiran Samuel Huntington, intelektualitas Amartya Kumar Sen gerah. Lantas, dia pun melekatkan gagasan ‘Illusion’ pada kata ‘Destiny’ untuk membantah tesis Samuel Huntington tentang benturan antarperadaban.

Kode intelektualitas Amartya Kumar Sen muncul dari perkawinan antara ‘Illusion’ dan ‘Destiny’. Agama atau Tuhan, yang didalam tesis Samuel Huntington, menurut Amartya Kumar Sen, tak lain tak bukan adalah ilusi, kepalsuan, tak asli. Meski begitu, secara spekulatif saya menilik ada suatu hal yang istimewa dari Amartya Kumar Sen ketika dia memilih ‘Illusion’ sebagai pendamping ‘Destiny’. Bila mengacu pada bahasa Inggris, ada beberapa padanan yang sesuai dengan ‘Illusion’, yakni delusion, impression, dan fantasy. Keistimewaan ‘Illusion’ dibandingkan tiga kata padanan tadi, menurut saya, adalah kemampuan kata ‘Illusion’ menampung konsep kekeliruan yang bersumber pada manusia untuk mengetahui makna dari ‘Destiny’. Barangkali, latar belakang Amartya Kumar Sen menggunakan kata ‘Illusion’ berangkat dari pemahaman dia sendiri yang ‘mengakui’ bahwa Takdir itu ada, namun manusia kerapkali manusia menjerumuskan diri dalam sisi ilusi Takdir daripada bergulat untuk menyelidiki dan memahami sisi asli Takdir. Dan seturut dengan pandangan Amartya Kumar Sen, penyebab hinggapnya ilusi di benak manusia dikarenakan kebebalan rasionalitas manusia itu sendiri.

Kompleksitas ‘Illusion’ dan ‘Destiny’ menempatkan posisi Amartya Kumar Sen sebagai sosok yang cukup terbuka sekaligus kaku. Di satu sisi, Amartya Kumar Sen bisa saja menyebar benih bahwa Takdir yang dipercaya manusia adalah ilusi, atau dengan kata lain Tuhan yang diyakini manusia ada sebenarnya tak ada. Setidaknya, argumentasi yang begini cocok dengan pengakuan Amartya Kumar Sen yang mengidentikkan diri sebagai orang yang ateis. Namun, di sisi lain, judul yang dibuat Amartya Kumar Sen punya potensi mengakui keberadaan Tuhan—entah itu sebagai afirmasi personal, atau sebentuk penghargaan kepada keyakinan Teistik orang lain yang benar-benar memahami keyakinan tersebut dalam pandangan yang lebih mengedepankan cita rasa perdamaian—, tapi yang menjadi permasalahan adalah pemahaman manusia atas Tuhan yang ilutif. Di sini, Tuhan bukannya tak ada, melainkan daya nalar manusia yang bebal, yang cukup puas dengan pandangan ilutif yang diperoleh tentang Tuhan; dan tak mau beranjak untuk mencoba memahami Tuhan yang hakiki, yang tak ilutif, yang asasi, yang asli. Paparan ini setidaknya cukup mumpuni pula ketika disandingkan dengan pernyataan Amartya Kumar Sen yang mengidentikkan dirinya dengan Hinduisme.

Kembali mengacu pada judul yang utuh Identity and Violence: The Illusion of Destiny, tampaklah bahwasanya apa yang hendak dibahas Amartya Kumar Sen dalam bukunya adalah Ilusi Takdir yang menghasilkan Identitas dan Kekerasan. Ilusi melekat pada manusia, begitu pula dengan Takdir; dan ketika dua entitas tersebut, muncullah Identitas dan Kekerasan.

Terkait dengan penggunaan frase Identity and Violence, lagi-lagi saya takjub dengan kelihaian Amartya Kumar Sen. Variabel ‘dan’ yang berangkat dari horison ilmu logika formal atau logika simbolik. Dalam logika simbolik, dua proposisi hanya bisa bernilai benar jika proposisi pertama dan proposisi kedua sama-sama bernilai benar. Bila Identity proposisi pertama bernilai benar dan Violence proposisi kedua bernilai benar, maka [The] Illusion of Destiny pun bernilai benar. Lewat penyelidikan demikian, bisa dilakukan penalaran bahwasanya [The] Illusion of Destiny cuma benar (baca: terjadi) ketika Identity dan Violence menyatu. ‘Menyatu’-nya Identity dengan Violence sebaiknya dipahami dalam konteks ‘afirmasi Identitas menyebabkan munculnya Kekerasan, dan bukan sebaliknya’. Namun, [The] Illusion of Destiny bisa bernilai salah (baca: tidak terjadi), ketika Identity bernilai benar dan Violence bernilai salah. Bila dilanjutkan, tentu saja bisa dinalar bahwa ada kemungkinan Identity bernilai salah. Namun, penalaran yang demikian sebenarnya tidak sesuai dengan pemikiran Amartya Kumar Sen yang ada di dalam buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny. Dalam bukunya, Amartya Kumar Sen menegaskan bahwa Identitas itu ada (baca: status nilai Identitas selalu benar), dan adanya Identitas itu bersifat majemuk, bukan tunggal. Dari proses pemilihan judul yang begitu, nyatalah bahwa Amartya Kumar Sen memang piawai memadukan kecerdasan logika simbolik dengan kecermatan memilih diksi yang presisi untuk menggambarkan likaliku kompleksitas pemikirannya sebagai seorang ekonom sekaligus filosof, dan barangkali pula dibumbui dengan sentuhan cita rasa sastrawi yang mengandung unsur sinisme, satir, serta jenaka.

۞۞۞

Pemahaman yang demikian mengantarkan aku, tentunya setelah terlebih dahulu melakukan pembacaan atas buku karangan Amartya Kumar Sen, untuk sedikit saja mengomentari transliterasi Identity and Violence: The Illusion of Destiny menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’.

Terjemahan yang dilakukan Arif Susanto terhadap judul buku Amartya Kumar Sen tampaknya berpotensi mengaburkan kompleksitas kode kultural dan kode intelektual Amartya Kumar Sen. Lema ‘Destiny’ yang ada di dalam judul asli buku karangan Amartya Kumar Sen hilang di dalam hasil terjemahan Arif Susanto. Hal ini, sangat saya sayangkan karena ‘Destiny’ sesungguhnya punya peranan yang tak bisa diabaikan dalam pemikiran Amartya Kumar Sen yang dituangkan dalam buku tersebut. Selain itu, hadirnya frase ‘Ilusi tentang Identitas’ bisa-bisa malah membawa benak para pembaca judul buku pada pemahaman bahwasanya Identitas punya aspek ilutif. Padahal, bila mengacu pada gagasan Amartya Kumar Sen, Takdir-lah yang punya aspek ilutif di mata para penganut buta dari Takdir; dan seringkali para penganut Takdir terjerembab dalam pemahamannya yang ilutif atas Takdir tanpa berusaha menyibak dimensi ilutif Takdir untuk masuk dan menjelajahi dunia aseli, dunia hakiki dari Takdir, yang menurut aku berada di luar batas-batas rasio, nalar, kesadaran manusia.

Terakhir, aku mau menegaskan lagi, karena aku pikir tanggapan atau komentar aku dalam artikel ini bisa-bisa dinilai orang lain dalam perspektif yang negatif, meremehkan kerja penerjemahan teks yang sudah dilakukan Arif Susanto. Hendaknya, meski aku hanya bisa sampai pada tataran Berharap, pembaca yang membaca artikel ini menempatkannya dalam konteks ‘upaya aku untuk menyelesaikan gerundelan pribadi yang, barangkali saja, bermanfaat untuk stabilitas psikologis aku’. Aku sadar, menerjemahkan buku bukan perkara gampang, dan sesungguhnya Arif Susanto sudah melakukan kerja yang tak gampang dengan menerjemahkan buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny karangan Amartya Kumar Sen. Dan ketika Arif Susanto menyelesaikan terjemahan buku tersebut, berarti Arif Susanto sudah mengetahui apa isi buku tersebut; dan karena itu artikel yang saya tulis tidak boleh dinilai sebagai koreksi aku terhadap pemahaman Arif Susanto atas gagasan Amartya Kumar Sen yang tertuang dalam buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny.

۞۞۞

Saya hendak menambahkan satu hal yang cukup penting, yang tak kalah pentingnya dengan segala celotehan yang sudah saya ungkapkan di atas. Saya mengucapkan terimakasih kepada penerbit Marjin Kiri yang telah berani membeli hak cipta penerjemahan, penerbitan, dan penjualan buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny edisi indonesia dari W.W. Norton and Company, Inc. Saya pikir, adalah sesuatu yang sangat luar biasa ketika hanya dalam tempo satu tahun saja—buku Identity and Violence: The Illusion of Destiny terbit pertamakali tahun 2006—buku berkualitas yang ditulis ekonom sekaligus filosof kaliber dunia muncul dalam edisi bahasa indonesia. Barangkali pengalaman saya tidak tahu banyak tentang buku-buku terjemahan, tapi seturut pengalaman saya, ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’ merupakan buku asing yang sangat cepat hadir dalam khasanah kepustakaan domestik, hanya berselang satu tahun saja sejak penerbitan perdana di dunia ‘luar’ sana. Salute pada Arif Susanto! Salute pada Marjin Kiri!

Agustus 2008

No comments:

Post a Comment