Ketika Teror Ketahuan, 18 Akhir 25

12.03, Kantor Pusat Lokalisasi Polisi-Polisi, menjelang santap siang.

Seorang pemuda, tinggi, tegap, brewokan, berhidung besar dan lebar, ceruk mata dalam hingga sorot tampak tajam, beralis hitam amat tebal, bertopi pink muda 'PEACE-lah', menyandang ransel terbitan home industri out door pertama, berjaket bahan kain katun polos hijau kelon berlapis parasut dibaliknya, bersepatu boot hitam setinggi satu inchi di atas mata kaki penuh bercak lumpur dari sol hingga plafon dengan tali sepatu yang lepas menjalar-jalar layaknya cacing tanah yang dilempar ke piring keramik, mengenakan cincin perak berukiran merak yang sedang mengangakan ekor-ekor terindah, celana jeans coklat kumal bercampur debu seperti sudah lima belas hari tidak dicuci, jenggot yang tak terawat meranggas sesuka akar dibawah dagu berlapis kulit berkerak rusak, bekas luka sayat pada kening agak kanan, berjerawat batu. Jalan menuju gardu.

Seorang polisi berpangkat garis bengkok tiga warna merah, bertubuh gempal padat, kulit putih mulus, mata sipit, bibir tipis, sedang makan nasi kotak dengan paduan rendang sapi, daun singkong rebus, sesendok sambel cabe hijau digabung rawit, kepulan nasi empuk dan panas, sayur nangka muda, berkuah santan kelapa muda enam buah dengan air cuma satu setengah liter, irisan mentimun tomat dan daun selada hijau segar dan besar-besar. Mau kemana, tanyanya sambil memiringkan kepala seakan hendak memandang matahari yang bersinar diatas kepala dengan mata yang lebih menyipit lagi dari posisi normal dan tangan yang menyendok segenggam nasi putih yang sudah bercampur kuah santan enam kelapa serta bumbu rendang yang terlihat seperti pecahan-pecahan liat kering yang padat dan lembab.

"Mau jumpa Lokal Satu, Dan!"

Pemuda itu pun digeledah. Tas dibuka, jaket dibuka, sepatu boot dibuka, baju dibuka, topi dibuka, jenggot dibuka, cincin dibuka, ceruk mata dibuka, hidung dibuka, kaos dalam dibuka, alis dibuka, celana dalam dibuka, tali sepatu dibuka, luka sayat dibuka, jerawat dibuka, tinggi dibuka, tegap pun dibuka.

"OK, silahkan masuk."

Usai digeledah, pemuda itu mengelus-elus dada sekaligus menarik nafas panjang melalui hidung yang hilang bentuk besar dan lebar dan merekalah sesungging senyum kalahkan bibir tipis milik polisi berpangkat garis bengkok tiga warna merah, lalu menghembuskan nafas perlahan-lahan, makin cepat, makin makin cepat, sangat lekas ia habiskan seluruh udara dalam rongga dada, dan ia pun kembali mengenakan segala yang dibuka satu-persatu di depan polisi yang sedang melanjutkan santap siang dengan agak sedikit membungkuk di depan meja piket coklat.

Pemuda itu pun melangkah masuk ke dalam kantor. Polisi itu pun hampir menyelesaikan makan, sekitar sembilan puluh delapan kunyahan, tuntas sudah itu makanan.

EMPAT RATUS LIMA PULUH ENAM MILYAR TUJUH RATUS TIGA PULUH TIGA JUTA DUA RATUS ENAM BELAS RIBU LIMA PULUH SATU SUARA PETASAN BERKUMPUL SEKALI LETUS MENGEPUL DARI RUMAH UTAMA KANTOR PUSAT LOKALISASI POLISI-POLISI, pukul 13.00.

"Ha...ha...ha... Kau pikir aku tak tau. Tai!" Polisi berpangkat garis bengkok tiga warna merah terpingkal-pingkal, memukul-mukul perutnya yang tak gendut hingga ia pun terbungkuk-bungkuk sambil menghentak-hentakkan kaki bergantian, kanan-kiri-kanan-kiri-kanan-kiri-kanan, setengah berloncat-loncat ia pukul lagi perutnya, sembari membanting-banting topi kepolisian ke abu-abu cone block, ia pungut lagi, banting lagi, pungut lagi, terus begitulah ia berlaku sambil meloncat-loncat cepat kadang hampir menyerupai kilat, di samping tong sampah sekitar dua ratus meter dari rumah utama, Komandan Lokal Satu.

Tiba-tiba, bahu kanan ia ditepuk dari belakang. Sontak, ia menoleh. Terdiam. Bibir mengatup rapat dan bergetar sebab dagu sudah kehilangan mantap, alis mata mulai mengkerut maka penuh kecutlah ia punya muka, tangan gemetar, kaki bergoyang, kedua lutut sudah bersinggungan, ia pun sudah ngelengas-ngelengos tak mampu menahan diri, seluruh isi perut sudah tumpah ke tumit kaki, organ jantung dan paru-paru sudah jatuh di kantong kemih, ia bernafas patah-patah karena vibrator tubuh yang berguncang hebat.

Sepotong tangan bercincin perak dengan ukiran cincin perak berukiran merak yang lagi membentangkan buntut belakang mekar seperti bunga yang merekah tertimpa sinar matahari pagi perdana (eh... kaya iklan euy --> biar ga terlalu serius ngebacanya.., bole' kan) mengapit secarik kertas ukuran block note para wartawan yang penuh bercak-bercak darah terselip dijepit jemari tangan yang tak lengkap, entah antara kelingking dan manis, manis dengan tengah, tengah telunjuk, telunjuk kelingking, ibu jari manis,tengah jempol, manis telunjuk, kelingking tengah, mungkin kelingking ibu. Isinya: KOK, BISA TAU SIH!!!

1 comment:

  1. Semakin hari tulisan loe semakin matang, tapi keAkuanmu terlalu dominan. Bedanya kita mungkin, gua senang dengan latar, kau suka ama tokoh/sosok. Thats what i hate the most

    ReplyDelete