SPEKULASI PEMBACAAN EKPLORATIF ATAS TUBUH TEKSTUAL KATRIN


1.
Apakah, pada dasarnya, manusia membutuhkan metafora? Melirik pada kredo Sutardji Calzoum Bahri, kebutuhan manusia akan metafora adalah mutlak. Semacam fitrah malah. Sebab: Pada mulanya adalah Kata. Dan dalam mengolah puisi hingga menjadi sajak, Sutardji menjadikan dirinya umpan bagi ikan kata-kata. Apa yang terbaca adalah eksplorasi ketelanjangan personal, hasrat menjadi umpan.
Meski metafora adalah kebutuhan mutlak manusia dari spekulasi pemikiran Sutardji Calzoum Bahri, saya melihat ada sebentuk kronologis yang berperan membiaskan kategori kemutlakan tersebut. Pembiasan atas konsep Sutardji dilakukan dengan cara pengosongan makna. Metafora mengalami pengosongan makna hingga menjadi hiperbola kosong yang bersifat sensual belaka, sekadar dilihat dan langsung dilupakan. Kondisi demikian memang lumrah, sebab pengosongan makna hanya bisa dicapai dengan cara menghapus ingatan, pelupaan atau melupakan.
Persoalannya, sebagai apakah metafora itu dipahami? Apakah metafora hanya klaim ranah sastra? Atau, metafora juga hadir dalam cakrawala ilmu pengetahuan, juga filsafat? Lebih tajam lagi, apakah buku-buku tekstual, buku-buku kategori sastra, menara-menara pencakar langit, busana, televisi, telepon genggam, tanda baca, hingga nasi gulai, tempe, ikan asin, rasa lapar merupakan perwujudan dari metafora? Bila metafora adalah kebutuhan mutlak manusia, maka segala apa-yang-terwujud sepanjang apa-yang-terwujud merupakan kebutuhan mutlak subjek-manusia-personal, itu adalah metafora.
Selanjutnya, persoalan semakin pelik ketika bias berupa pengosongan makna terjadi. Individu mengintervensi metafora dengan suatu cara hingga terjadi pengosongan makna, individu menghadirkan situasi pelupaan atas metafora. Dalam bahasa yang santun serta bersahabat, pelupaan menjadi upaya pemisahan antara ilusi dan realitas di dalam suatu objek (thing). Subjek mengintervensi objek, baik melalui subjektifitas atau objektifitas, untuk selanjutnya menentukan mana yang ilusi dan mana yang realitas di dalam objek. Apa yang bagi subjek merupakan realitas itulah yang dibahas, sedang apa yang merupakan ilusi disingkirkan. Inilah yang saya sebut situasi pelupaan, situasi yang masih menyimpan dilema di dalam dirinya sendiri dikarenakan kehadiran potensialitas kekeliruan dari finalitas justifikasi yang-ini-di dalam-objek adalah ilusi dan yang-itu-di dalam-objek adalah realitas. Tetapi, sekalipun subjek mengimplan situasi pelupaan atas metafora yang berujung pada pengosongan makna, perbuatan subjek sepenuhnya diarahkan pada hasrat untuk memahami objek, atau dalam ungkapan filosofis: Mencari dan Menemukan Kebenaran.

2.
Dari pemahaman yang demikian, saya membahas tubuh tekstual Katrin. Karena itu ‘tubuh tekstual Katrin’ adalah metafora di hadapan saya. Dan, saya sadar bahwa saya tidak bisa lepas dari keharusan menghadirkan situasi pelupaan atas metafora ‘tubuh tekstual Katrin’ dengan selalu tetap menyimpan kesadaran di dalam batin bahwasanya apa yang tengah dihadirkan ‘tubuh tekstual Katrin’ adalah representasi dari hasrat Katrin memahami objek.
Apa yang saya nyatakan sebagai ‘tubuh tekstual Katrin’ berasal dari dua tulisan Katrin Bandel, 1) Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami, yang hadir di dalam buku Sastra, Seks, Perempuan terbitan Jalasutra, 2006, dan 2) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK.
Sepanjang pembacaan saya atas tubuh tekstual Katrin yang mengejawantahkan diri pada Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami, saya melihat aspek penganalisaan produk sastra diverbalkan dalam bahasa ‘pencarian ambivalensi’. ‘Pencarian ambivalensi’ menjadi semacam asumsi tubuh tekstual Katrin Bandel pada Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami. Menghadapi asumsi demikian, saya mencurigai ada motif-motif ilmiah terselubung dari Katrin seturut dengan kajian kritik sastra yang hendak dia ajukan sebagai premis tunggal-partikular yang-lain atas pembacaan novel Saman/Larung.
Dalam khasanah kritik sastra, pengetahuan elementer kritik sastra mendasarkan diri pada empat pendekatan, yakni 1) biografis, 2) struktural, 3) mimesis, dan 4) ekspresionisme pembaca yang tenar karena slogan Roland Barthes: Pengarang sudah mati. Dari pola baku demikian, saya melihat kepiawaian Katrin mengelaborasi konsep kritik empat-pilar demikian menjadi satu keutuhan tak terbantahkan dengan kecenderungan kritik yang bertendensi pada kajian strukturalis. Namun kajian kritik strukturalis Katrin dibarengi dengan pendekatan poststrukturalis. Inilah yang menyebabkan ‘pencarian ambivalensi’ menjadi masuk akal di dalam benak saya.
Di dalam novel Saman/Larung, Katrin memainkan situasi pelupaan agar kehendak dia untuk menemukan kebenaran dalam pengertian ‘ambivalensi’ mendapatkan hasil. Ternyata, situasi pelupaan demikian memang membuahkan hasil seturut dengan argumentasi yang koheren serta konsisten di dalam Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami. Uniknya, pelacakan ambivalensi itu digapai dengan pengandaian realitas lain di luar-konteks-novel Saman/Larung. Atau dengan kata lain, struktur novel Saman/Larung diperhadapkan Katrin dengan kenyataan (dan dalam kajian kritik, mendekati produk sastra dengan menggunakan struktur kenyataan disebut sebagai mimesis). Strategi pengelolaan situasi pelupaan yang begitu memampukan Katrin untuk menemukan ambivalensi yang berasal dari kerja menghadirkan pengandaian di luar konteks-novel Saman/Larung. Heteronormatifitas dan falosentrisme pun muncul sebagai dampak pembacaan Katrin yang mengadopsi pendekatan poststrukturalis.
Di saat novel Saman/Larung hendak menegaskan penyimpangan ekspresi seksual dari heteroseksual menjadi homoseksual karena suatu sebab, Katrin meradikalkan upaya ‘menegaskan penyimpangan ekspresi seksual’ menjadi afirmasi kiblat afirmasi posisi ideologis novel Saman/Larung, bahkan hingga merasuk pada posisi ideologis feminisme (?) Ayu Utami. Dengan kata lain, Katrin membaca novel Saman/Larung sebagai afirmasi feminisme yang berpijak pada homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme. Dan pada titik inilah situasi pelupaan muncul disebabkan produk sastra dihadapi dengan prasangka, yang selanjutnya saya sebut sebagai: sebentuk a priori.
Apa terjadi sesungguhnya atas tubuh tekstual Katrin pada Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami adalah pencangkokan kehendak ideologis homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme dari Katrin atas novel Saman/Larung. Saya membayangkan, ketika ‘tendensi’ ideologi homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme novel Saman/Larung menjadi sebentuk a priori di dalam benak Katrin, kemudian Katrin membaca novel Saman/Larung dan menemukan ambivalensi dikarenakan benturan antara sebentuk a priori dengan sebentuk aposteriori. Menariknya, dari mana Katrin memperoleh sebentuk a priori yang berupa ideologi homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme? Saya pikir, sebentuk a priori itu hadir di dalam benak Katrin karena reproduksi represifitas kajian kritik yang menempatkan novel Saman/Larung dalam kotak afirmasi paradigma feminisme. Lalu mengapa saya berani menyimpulkan demikian. Ada secuil fakta yang memberanikan saya mengambil kesimpulan demikian, fakta yang berasal dari pengakuan sadar di dalam tubuh tekstual Katrin, yakni Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’. Di dalam tubuh tekstual Katrin Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, saya menemukan fakta bahwa Katrin Bandel memiliki novel Saman edisi ke-15, Agustus 2000. Menilik rangkaian kronologis, novel Saman merupakan pemenang pertama sayembara roman Dewan Kesenian Jakarta pada 1998. Rentang waktu dua tahun, ditambah ‘edisi ke-15’ bisa menyampaikan pesan implisit bahwasanya novel tersebut sudah melahirkan banyak kajian kritik atas dirinya sendiri hingga menegaskan kehadiran afirmasi homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme sebagai makna di dalam novel Saman. Kronologis demikian bersama dengan afirmasi ideologi yang terkandung di dalam novel Saman bermetamorfosis menjadi sebentuk a priori di dalam benak Katrin Bandel. Dan, Katrin mendobrak tatanan a priori afirmasi ideologi homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme yang bersifat represif itu dengan menganalisa habis-habisan novel Saman/Larung dengan sebentuk aposteriori hingga menghasilkan strategi pembacaan ‘pencarian ambivalensi’. Ekspresi aposteriori mengalahkan dominasi represi a priori. Di dalam tubuh tekstual Katrin Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami, Katrin menemukan bahwa sebentuk a priori afirmasi ideologi homoseksualitas perempuan dan anti-falosentrisme adalah ilusi atas novel Saman/Larung. Sebabnya, tentu saja dikarenakan Katrin Bandel menemukan novel Saman/Larung sesungguhnya mengandung penegasan atas ideologi heteroseksualitas dan falosentrisme. Dengan kata lain, novel Saman/Larung bukanlah novel yang punya paradigma feminisme, lebih tajam lagi: Ayu Utami bukanlah pengarang yang punya paradigma feminisme.
Di dalam pemahaman demikian, tubuh tekstual Katrin Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami merupakan gugatan atas tatanan mapan pembacaan novel Saman/Larung yang kadung dihadapi sebagai novel yang mengandung paradigma feminisme. Tubuh tekstual Katrin Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami, menurut saya, menghadirkan spektrum kajian kritik yang-lain atas novel Saman/Larung. Upaya Katrin Bandel yang begitu cukup cantik untuk menyingkap tirai dominasi kajian kritik yang lebih cenderung memapankan afirmasi bahwasanya novel Saman/Larung punya kandungan paradigma feminisme. Selain itu, saya mendeteksi ada juga secuil niatan Katrin Bandel untuk mengambil peran sebagai penjaga nilai-nilai feminisme sebagaimana yang diwujudkan Katrin Bandel dalam serangkaian kalimat di paragrap 17 Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami: ‘Dari sebuah novel yang mengangkat seksualitas perempuan sebagai salah satu tema utamanya, saya mengharapkan mengharapkan perhatian terhadap beberapa persoalan dasar yang menjadi ciri khas pengalaman seksual perempuan. Salah satunya adalah kenyataan bahwa perempuan dapat melakukan hubungan seks, dan bisa hamil karenanya, tanpa menikmatinya dan tanpa mencapai orgasme’. Saya mengalih-bahasakan pernyataan demikian dengan bahasa yang lebih lugas: Seks tanpa kenikmatan! Saya menduga, representasi fisikal ideologi feminisme di dalam produk sastra yang mengandung paradigma feminis yang ada di dalam benak Katrin Bandel adalah kehadiran seks tanpa kenikmatan. Di dalam novel Saman/Larung, Katrin menemukan seks menghasilkan kenikmatan, dan yang begitu itu masih di dalam paradigma falosentrisme dengan varian baru berupa heteronormatifitas. Dengan demikian, setidaknya tubuh tekstual Katrin Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami membuka cakrawala baru bagi pengarang, khususnya “pengarang perempuan” (“pengarang perempuan” merupakan reproduksi frasa-teksual yang saya lakukan, yang berasal dari paragrap 1 Pengantar Penulis pada buku Sastra, Perempuan, Seks terbitan Jalasutra, 2006), untuk menetaskan naskah yang memuat situasi ‘seks tanpa kenikmatan’.

3.
Selanjutnya, menyikapi tubuh tekstual Katrin yang fragmentaris i) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, ii) Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, dan iii) Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK, lagi-lagi saya menemukan situasi pelupaan yang-lain. Persoalan, tepatnya kajian kritik, tentang novel Saman/Larung berpindah lokus. Persoalannya bukan lagi merujuk pada reproduksi kandungan novel Saman, melainkan berpindah pada lokus reproduksi fisikal objektif novel Saman dengan beragam panorama yang ada di balik proses itu Pusat perhatian bukanlah pada produk sastra, melainkan pada reproduksi produk sastra yang didominasi oleh politik. Realitas sastra direduksi menjadi masalah politik sastra, lebih tajam lagi: realitas sastra direduksi menjadi realitas reproduksi produk sastra. Beginilah situasi pelupaan yang terjadi.
Bermain dalam ranah politik, kehendak kuasa bakal mendominasi setiap personal yang berkubang dalam arena pertarungan politik. Maka, Katrin Bandel sebagai personal yang melibatkan diri dalam arena pertarungan politik pun harus mengikuti kodrat politik, sebentuk kodrat yang mewajibkan setiap personal mengadopsi karakter heroik. Dalam tubuh tekstual Katrin yang fragmentaris i) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, ii) Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, dan iii) Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK berceceran informasi-informasi yang disusun menjadi serangkaian argumentasi yang nyaris-koheren serta nyaris-konsisten di dalam selimut perlindungan cara berpikir rasional-spekulatif.
Karakter heroik yang demikian pastilah karakter heroik yang membutuhkan eksistensi ‘mereka yang lemah dan teraniaya’. Dalam tubuh tekstual Katrin yang fragmentaris i) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, ii) Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, dan iii) Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK, ‘mereka yang lemah dan teraniaya’ hadir sebagai ‘Indonesia’ dan ‘…—bukankah banyak pengarang Indonesia lain yang juga (atau malah lebih) layak mendapat perhatian?’ (kutipan dari kalimat terakhir paragrap 21 Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’). Situasi pelupaan realitas sastra menjadikan Katrin seperti sosok pahlawan dalam komik kanak-kanak. Mengapa saya berpendapat demikian? Menurut saya, produk sastra itu ibarat intan. Karena itu, reproduksi produk sastra bergantung pada keintanan dari produk sastra itu sendiri. Reproduksi produk sastra yang ditujukan untuk menambah kadar keintanan di dalam produk sastra, menurut saya, tak ubahnya dengan upaya menegakkan benang basah. Maka, kerja membahas politik sastra adalah kerja yang menghadirkan ilusi atas realitas sastra. Saya tidak tahu entah dari mana kerja sia-sia begini bisa masuk dan merambah dunia sastra. Adalah lebih baik, menurut saya, apabila kerja menentukan kadar keintanan produk sastra atau suatu produk sastra lebih dikedepankan daripada menghabiskan uang untuk memperdalam persoalan politik sastra.
Tubuh tekstual Katrin yang fragmentaris i) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, ii) Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, dan iii) Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK berkutat pada masalah pencapaian prestise internasional Ayu Utami yang dipenuhi aspek-aspek ilutif. Uniknya, pembahasan pencapaian itu dilakukan dengan mengedepankan informasi yang diperoleh. Informasi yang diperoleh, secara radikal diubah menjadi fakta yang bersifat taken for granted oleh Katrin Bandel. Saya merasa ada semacam perjudian personal dalam tubuh tekstual Katrin yang fragmentaris i) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, ii) Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, dan iii) Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK yang harus mendapat pengujian, seturut dengan ekspresi tekstual Katrin, dari ‘sejarah’.
Dalam perjudian yang penuh aura sensitifitas begini, saya menyatakan bahwa saya tidak berpihak pada kubu KUK atau pada kutub-kutub sastra yang ada di Indonesia, atau malah di dunia. Informasi yang sudah sampai pada tingkat kesimpulan dalam tubuh tekstual Katrin Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’ perlu diragukan. Apakah benar pidato yang diucapkan Ayu Utami saat menerima penghargaan Prince Claus Award pada tahun 2000 ditulis oleh Goenawan Mohamad? Setahu saya, di Amerika Serikat sudah ditemukan program komputer yang ditujukan untuk melacak siapa penulis suatu teks. Yang saya tidak tahu, apakah program komputer yang demikian mampu melacak penulis suatu teks hanya bermodalkan 71 kata, sebagaimana kutipan atas tekstual pidato yang direproduksi Katrin Bandel dalam Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’. Sebagai informasi, Donald Foster, pengajar di Vassar College di Poughkeepsie, New York, Amerika Serikat, berhasil menentukan siapa penulis anonim novel Primary Colors yang terbit pada tahun 1996 dengan bantuan program komputer. Berdasarkan program komputer tersebut, Foster menyimpulkan bahwa Joe Klein sebagai penulis novel Primary Colors; dan Joe Klein pun mengakui bahwa dirinya adalah penulis novel Primary Colors.* Mungkin, produk program komputer Donald Foster bisa dipergunakan untuk melacak siapakah sebenarnya penulis pidato yang dibacakan Ayu Utami pada saat menerima penghargaan Prince Claus Award pada tahun 2000? Benarkah pidato itu ditulis oleh Goenawan Mohamad atau Ayu Utami atau malah orang lain?
Di sisi lain, saya pun hendak mengajukan gugatan atas ‘ambivalensi’ Katrin Bandel dengan mengungkap informasi Ayu Utami meraih penghargaan Prince Claus Award pada 2000 pada Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’ dengan informasi ‘…KUK menjadi Network Media Partner Prince Claus Fund dari tahun 2004 sampai 2007, dan menerima dana sebesar 163.746 Euro selama 3 tahun tersebut.’ pada Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK. Saya melihat dua informasi melahirkan dua konteks yang berbeda yang saling lepas. Karena itu, tubuh tekstual Katrin yang fragmentaris i) Wacana: Saman dalam ‘Kebohongan’ Politik Sastra, ii) Wacana: Membongkar Kasus ‘Politik Sastra Gombal’, dan iii) Wacana: Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK menjadi rapuh, untuk tidak mengatakan lentur-berantakan bila dibandingkan dengan tubuh tekstual Katrin Vagina Yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami

4.
Dalam setiap pembacaan dan penulisan, menurut saya, situasi pelupaan merupakan situasi yang melekat di dalam subjek. Hasrat mengelupas ilusi dari realitas menjadi ambisi utama dari setiap kerja membaca dan menulis. Pengosongan makna untuk memperoleh keutuhan makna (baca: Kebenaran) menjadi hal yang sulit dielakkan. Ada tepatnya juga bila Sutardji Calzoum Bahri mengafirmasi strategi menghasilkan teks dengan cara menjadikan dirinya sendiri sebagai umpan bagi kata-kata. Umpan yang saya maknai sebagai ketelanjangan, dan apa yang saya maksud dengan ketelanjangan bisa dimaknai beragam oleh siapa pun yang ingin memaknai ketelanjangan tersebut. Tentunya dengan tidak melupakan ketelanjangan sebagai hasrat eksplorasi, hasrat untuk menemukan!

April 2008


*: adaptasi dari artikel ‘Marrying Hihg-Tech and The Humanities’ yang ditulis Michael Dirda, peraih Pulitzer Prize pada 1993 untuk kategori kritik dan merupakan penulis sekaligus editor Washington Post Book World.

No comments:

Post a Comment