POSTULAT ILUSI: MIMPI YANG MEMBUNGKUS REALITAS


Kecatatan adalah afirmasi. Deklarasi. Proklamasi atas realitas alias kenyataan. Dalam pengucapan yang lebih keren dan beraroma filosofis bisalah dikata: Justifikasi subjek atas objek. Dan yang menjadi objek dalam konteks begini adalah realitas internal subjek plus realitas eksternal subjek. Maka, kehadiran afirmasi kecatatan merupakan representasi fisikal kesadaran. Tradisi psikoanalisa Freudian meradikal ‘kesadaran’ menjadi variabel alam-sadar pikiran manusia.

Problem kecacatan bakal beroleh aksentuasi berbeda bila kecacatan bukan lagi afirmasi, melainkan keinginan subjek. Kesadaran ‘justifikasi subjek atas objek’ berubah menjadi keinginan subjek. Maka, manusia-super ala Sabda Zarathustra hanya bualan kosong dari seorang filosof bernama: Nietzche. Dampak paling parah, trauma tidak lagi menakutkan dan patut dihindari atau diselesaikan, melainkan hadir sebagai candu. Lagi-lagi, mengacu tradisi psikoanalisa Freudian, alam-bawah-sadar pikiran harus mendapat porsi ekspresi mutlak dalam keseharian. Maka, keinginan untuk cacat pun hadir sebagai reprentasi pragmatik Prinsip Kesenangan id pada semesta manusia dewasa. Alhasil, keinginan untuk cacat merupakan standar etik paling ultima dalam eksistensi manusia.

Proposal postulasi demikian kelihatannya bisa menjadi sarana alternatif memahami gejolak jaman di saat sekarang. Hasrat euforia global-hedonis telah menggejala di mana-mana. Global yang abstrak sudah berhasil mewujud dalam lingkup kelokalan menjadi yang spesifik dan nyata. Andy Warhol meneriakkan slogan: Seperapat jam buat tenar! Dan informasi adalah kanal bagi cita-cita demikian. Informasi yang harus dimaknai sebagai kehadiran media massa dalam peradaban kontemporer.


Dreams Absolutely Truth menjadi Dreams (Will) Come True
Semenjak citra menguasai realitas, ilusi menjadi sesuatu yang harus diterima sebagai yang tak terbantahkan. Mengingkari ilusi berarti tidak menghargai mimpi. Padahal, di jaman kontemporer, mimpi merupakan patokan norma agar subjek bisa meraih kebahagiaan. Dreams come true. Realitas dan ilusi sudah menyatu. Karena itu, apa yang disebut realitas adalah ilusi, dan apa yang disebut ilusi adalah realitas. Apabila gagasan demikian diradikalkan lagi, muncul premis: Segala adalah ilusi. Merujuk pada tradisi psikoanalisa Freudian, bisa diajukan tafsir baru atas ilusi, yakni: realitas dalam konteks mimpi. Dan yang menjadi locus de-licti mimpi adalah kondisi ketiduran.

Di dalam semesta mimpi, tentu tidak ada kematian mutlak. Perasaan takut subjek di dalam mimpi, hingga kematian subjek di dalam mimpi, merupakan sebentuk kepahlawan personal yang tak bakal padam. Di dalam semesta mimpi, prinsip kesenangan alam-bawah-sadar yang didominasi id pun mendapat batu pijakan yang kokoh: Dreams Absolutely Truth(!). Maka, ketika subjek bangun atau terbangun dari tidur, Dreams Absolutely Truth menjadi semacam ekspektasi subjek yang diverbalkan di dalam ungkapan Dreams (Will) Come True. Dan di jaman kontemporer, will (baca: keinginan) menjadi spirit utama manusia kekinian menghadapi kenyataan eksternal-personal yang problematik. Pada tingkat elementer, perwujudan keinginan dilakukan subjek dengan melekatkan ilusi pada realitas. Perbuatan subjek melekatkan ilusi pada realitas tidak bisa digugat realitas secara fisikal. Realitas hanya bisa pasrah, mungkin sembari menyimpan dendam, ketika realitas berbagi tempat dengan ilusi yang dilekatkan subjek.

Bagi subjek yang sudah melekatkan ilusi pada realitas, maka realitas hadir bukan lagi sebagai kegawatan, ketakutan, atau misteri. Realitas hadir sebagai wahana perwujudan ilusi, dan yang menjadi persoalan utama subjek adalah bagaimana mewujudkan ilusi itu di dalam realitas. Serangkaian teknik rekayasa pun digagas subjek agar bisa mewujudkan mimpi. Karena begitu, adalah wajar apabila standar kebenaran subjek semata-mata bergantung pada tujuan. Ilusi terwujud, itulah kebenaran alias true alias truth. Etika subjek yang demikian adalah etika ilutif, etika yang berpatokan pada kondisi ideal-ilusi, etika yang tidak memperhitungkan keberetikaan dari aspek teknis mewujudkan ilusi. Dengan kata lain, dalam konteks tradisi psikoanalisa Freudian, id-lah yang memegang kendali penuh atas ego di dalam pikiran manusia di jaman kontemporer. Pikiran alam-sadar bekerja melayani pikiran alam-bawah-sadar.


Jaman Kegagapan Modernitas

Kembali pada soal kecacatan. Dalam kerangka kronologis, difabel atau kecacatan pada mulanya merupakan justifikasi subjek atas objek. Sebagaimana yang sudah diutarakan sebelum, objek sebaiknya dipahami dalam konteks internal subjek sekaligus eksternal subjek. Karena itu, perbuatan justifikasi pun menghadirkan dua bentuk yang berbeda, namun memiliki isi yang sama, yakni afirmasi. Pertama, afirmasi personal atas diri sendiri, dan yang kedua—menggunakan pendekatan Lacanism—afirmasi yang-lain atas personal. Dalam situasi yang bersifat monolog sekaligus dialog begitu, situasi yang bersifat intrasubjektifitas, realitas hadir dalam kelengkapan yang mengutuh. Maka, subjek yang cacat memaknai kecacatan personal sebagai kondisi yang tak terbantahkan sekaligus tak terelakkan, tanpa memperhitungkan faktor apakah subjek menginginkan atau tidak menginginkan kondisi tersebut. Sebagaimana realitas, kecacatan pun hadir sebagai sesuatu yang ‘taken for granted’.

Di jaman kontemporer, kerangka kronologis demikian mengalami perubahan yang tak bisa dimaknai sebatas perubahan yang bersifat deformasi atau reformasi atau transformasi. Sebabnya, pada aras yang substantif, deformasi dan reformasi dan transformasi lebih mengacu pada persoalan bentuk. Terkait isi yang ada di dalam bentuk, tiga pola itu masih saja menawarkan isi yang sama. Persoalannya, di jaman kontemporer, kerangka kronologis demikian tidak hanya mengacu pada masalah perubahan bentuk, melainkan sudah menembus ke tingkatan isi. Mungkin, sebutan yang tepat adalah rekreasi yang merujuk pada re-kreasi. Kerangka kronologis kecacatan mengalami rekreasi, perubahan yang tak hanya merujuk pada bentuk belaka, tetapi sudah merasuk ke dalam inti isi.

Pada tingkatan isi, perubahan kerangka kronologis ada di ‘taken for granted’. Jaman kontemporer mengenal yang ‘taken for granted’ bukan lagi sebagai realitas, melainkan ilusi. Ilusi itulah yang sesungguhnya merupakan sesuatu yang ‘taken for granted’. Akibatnya, faktor keinginan subjek pun menjadi varibel yang harus ada ketika hendak mengafirmasi kecacatan. Ketika sampai pada titik ini, dunia tidak lagi hadir seperti sebagaimana yang dilihat subjek, melainkan: dunialah yang harus melihat subjek. Subjeklah yang harus menjadi kiblat bagi dunia, dunia dalam pengertian subjek yang-lain. Monolog mengalahkan dialog. Ruang dan waktu dialog menjadi nihil. Monolog-subjek mengalami percepatan akselerasi hingga menjadi penguasa tunggal bagi subjek yang-lain di jaman kontemporer. Maka, subjek yang memproklamirkan ilusi sebagai sesuatu yang ‘taken for granted’ dipandang subjek-lain sebagai realitas yang tak terbantahkan. Tanpa disadari, hal demikian berdampak re-kreasi kesadaran subjek-lain. Kesadaran subjek-lain yang idealnya berisi realitas yang ‘taken for granted’ berubah menjadi realitas dari ilusi yang ‘taken for granted’.

Dalam situasi demikian, realitas yang ‘taken for granted’ hanya bisa pasrah sebab subjek di jaman kontemporer tak lagi memandang realitas yang ‘taken for granted’ sebagai sesuatu yang enigmatik, melainkan sudah dalam bentuk dan isi yang paling radikal, yakni realitas yang ‘taken for granted’ adalah kompetisi. Akselerasi monolog-subjek cuma ditujukan untuk memangkan kompetisi. Dan subjek pemenang kompetisi bakal disematkan predikat pahlawan—yang sesungguhnya merupakan hiperbola kosong dan hampa—oleh subjek yang-lain. Pahlawan sebagai hiperbola kosong dan hampa mengaksentuasikan diri di dalam subjek yang-lain, juga di dalam diri subjek pemenang dalam wujud kelupaan dan penyesalan. Afirmasi kecacatan hadir dalam bentuk yang paling absurd: dilupakan dan disesalkan, bagi subjek pemenang. Sayangnya, tragedi demikian masih melanjut pada subjek yang-lain, subjek yang belum mengecap kemenangan dan masih suka bermain dalam ruang kompetisi realitas yang dipenuhi mimpi.

Apabila ‘subjek’ dimaknai sebagai penanda dalam konteks Sausserianism, maka yang menjadi petanda bisa 1.001 macam. Saya mengusulkan cuma dua saja, 1) manusia, dan 2) institusi, tentunya dengan mengingat keberadaan konteks yang menjadi dasar proposal postulasi ini: ilusi adalah sesuatu yang ‘taken for granted’. Dari postulasi demikian hadir subjek-yang-ketiduran penghasil jaman kegagapan modernitas. Ya, itu terjadi di jaman sekarang ini, jaman yang melahirkan paradigma baru: anomali adalah kewajaran. Cara pandang demikian dilegalkan dengan memajukan argumentasi: Di dalam realitas, tidak ada yang sempurna. Padahal, bila diteliti kembali, penyebab utamanya adalah kehendak subjek untuk cacat, membungkus realitas dengan mimpi!

April 2008

No comments:

Post a Comment