PETA REKONSTRUKSI MOZAIK ZHOU CHUNYA, JIM SUPANGKAT, SARDONO W KUSUMO, ROMAN JAKOBSON, DAN AKU DI GALERI NASIONAL 23 JANUARI 2008

Di depan seni rupa patung perunggu Potrait of Heigen aku termangu. Heigen adalah nama anjing milik Zhou Chunya (baca: cou chu-ya), perupa asal Cina. Dia menyelesaikan patung itu pada 2006.

Di depan seni rupa patung perunggu Potrait of Heigen aku termangu. Heigen pun termangu, bahkan serupa merenung. Aku teringat The Thinker Auguste Rodin, maestro rupa asal Perancis. Logam tak bernyawa seakan mampu menyimpan emosi khas mahluk yang disebut manusia. Aku tak tahu pasti, apakah itu emosi Heigen atau malah emosi Zhou?

Jim Supangkat berpendapat, seluruh karya Zhou yang dipamerkan di Galeri Nasional adalah hasil pergulatan akrab Zhou dengan Heigen. Pameran itu diberi mahkota ‘Green Dog’, bila ditransliterasi ke bahasa Indonesia, aku memilih frasa ‘Hijau Anjing’.

Jim Supangkat: “Zhou mengabaikan message dalam berkarya. Zhou mengabaikan pesan.” Kurator kelas papan atas di Indonesia itu pun menyimpulkan pameran Zhou sebagai representasi dari unreal. Penafsiran aku: unreal menjadi konsepsi berkarya Zhou. Namun dikarenakan karya itu sendiri, maka yang unreal itu pun menjadi real pada tingkatan representasional. Aku teringat kembali ucapan

Sardono W Kusumo: “‘Beyond-culture’. Tantangan seniman sekarang adalah menjawab ‘beyond-culture’. Apa yang ditampilkan Zhou adalah sesuatu yang ‘beyond-culture’. Pada patung-patung Zhou, ada unsur keakraban spirit yang bermain ketika Zhou mengolah, membentuk patung-patung tersebut. Ada harmoni, ada demoniak.
Apa yang diperbincangkan dalam konferensi iklim di Bali adalah ‘beyond-culture’. Zhou membicarakan anjing tanpa memperlihatkan ke-anjing-an itu sendiri.”

Di depan seni rupa patung perunggu Potrait of Heigen aku termangu. Kelebat Jakobson menghampiri aku. Tidak mungkin Potrait of Heigen tidak punya pesan sebagaimana yang diutarakan Zhou dan Jim Supangkat. Bisa saja Zhou dan Jim berpendapat demikian. Tapi, landasan Jakobson dalam sistem bahasa sudah terang, lugas, dan jelas. Setiap bahasa pastilah punya pesan, sekalipun itu nonsense!
Aku tak soal siapa yang benar atau salah. Aku tak soal siapa yang baik atau buruk. Aku pun tak soal siapa yang indah atau siapa yang rusak. Dalam dirinya sendiri, Jakobson adalah benar, baik, dan indah. Dalam dirinya sendiri, Zhou adalah benar, baik, dan indah. Dalam dirinya sendiri, Jim adalah benar, baik, dan indah. Dan aku berpikir:

Zhou punya niatan memberontak. Melalui Jim aku mengetahui bahwa Zhou berhutang budi pada ide-ide neoekspresionisme yang dia peroleh ketika belajar di Jerman. Semua nilai itu dia terima, dan dia adaptasikan dengan kultur lokal Cina, yakni Konfusius. Informasi ini membangun pemaknaan baru dalam kepala aku. Kehendak Zhou untuk mengabaikan pesan adalah representasi dari sifat pemberontakan Zhou. Zhou memberontak terhadap sistem super-ego yang dia terima melalui pendidikannya di Jerman. Dan memang, kreatifitas pada dasarnya, menurut aku, berjalan seiring dengan pemberontakan. Tidak ada kreatifitas tanpa pemberontakan! Pada level paling dalam, aku bicara soal keberanian. Tindak berontak mensyaratkan satu hal yang tak terbantahkan: berani. Maka, kreatifitas adalah keberanian yang berwujud.

Di depan seni rupa patung perunggu Potrait of Heigen aku termangu. Menurutku, patung itu menyimpan sesuatu, sesuatu yang khas manusia: emosional dan akal! Heigen menyimpan ketakutan, Heigen menyimpan harapan, Heigen menyimpan permenungan, Heigen menyimpan kehendak. Lalu, apakah Heigen? Patung atau bukan? Siapa sebenarnya Heigen? Zhou atau bukan?

Aku meninggalkan Potrait of Heigen. Tak sengaja, aku melihat Zhou sedang berfoto dengan seorang perempuan berbaju merah di depan lukisan cat minyak Standing TT yang berukuran 220 x 320 cm. Zhou ramah menyapa. Zhou berjas hitam. Zhou bercelana hitam. Zhou berambut pendek. Zhou tersenyum, menganggukkan kepala, dan memberi tanda tangan di katalog pameran milik seorang undangan. Aku teringat seni rupa patung perunggu Potrait of Heigen dan aku yang termangu di hadapan Potrait of Heigen.

Di depan seni rupa lukisan cat minya Potrait of TT, aku mulai paham. Lukisan berukuran 250 x 200 cm. Kepala seekor anjing, dua pesawat, seekor anjing di sebelah kanan manusia kuning botak telanjang, tank tempur dengan laras meriam mengarah ke atas. Aku teringat ‘beyond-culture’.

Sardono W Kusumo: “Zhou membicarakan anjing tanpa memperlihatkan ke-anjing-an. Dalam karyanya, malah tampak kemanusiaan. Manusia.”

Selama ini kultur adalah tanda peradaban suatu bangsa. Lebih jauh lagi, ‘suatu bangsa’ bisa diluaskan menjadi ‘umat manusia’. Kultur melahirkan apa yang ideal bagi manusia. ‘Beyond-culture’.
Awalnya, aku berpikir kata ‘beyond’ mengacu pada sesuatu yang ada di balik. ‘Beyond-culture’, sesuatu yang berada di balik kultur. Pola pikir meruang begini memberikan aku alternatif baru, yakni atas-bawah. Ada sesuatu yang berada di atas kultur. Aku mencari dan tak menemukan maksud Sardono.

Di depan seni rupa patung Green Dog, aku paham. ‘Beyond-culture’ bukan soal yang harus dipikirkan dalam konsep ruang. ‘Beyond-culture’ bicara soal metafisika. ‘Beyond-culture’ hendak ngomong soal asal kultur. Peradaban manusia dibangun di atas dasar keinginan mewujudkan suatu, katakanlah, masyarakat ideal. Seperangkat tata-aturan berkerabat dan bermasyarakat pun dirumuskan demi mencapai masyarakat yang diidam-idamkan, gemah ripah loh jinawi. Perumusan demikian, meredam aspek-aspek negatif yang sudah built-in di dalam diri manusia itu sendiri. Keinginan biadab, keinginan merampok harta orang lain, keinginan membunuh, keinginan culas, keinginan berandalan, keinginan demoniak/menghancurkan, ditumpas sehabis-habisnya di dalam kultur. Kultur mengedepankan ke-adiluhung-an. Kultur menihilkan yang mungkar. Inilah persoalan ‘beyond-culture’.
Persoalan perubahan iklim adalah dampak kultur industrialisasi, yang pada fase awal bisa dikata merkantilisasi. Kultur industrialisasi yang merujuk pada konsep efektif dan efesien mengarah pada eksploitasi habis-habisan alam untuk menghasilkan produk yang benar-benar efektif dan efesien bagi manusia. Modal dan laba adalah tujuan. Modal dan laba adalah satu-satunya nilai yang berharga di dalam peradaban industrialisasi, yang di fase paling modern sekarang ini mengadaptasi nama baru: globalisasi, dengan kapitalisme sebagai fondasi utama.
Ekploitasi alam, pemerkosaan alam secara massal, membuka wajah baru umat manusia itu sendiri. Beringas, berandalan, rakus, serakah. Kebiadaban massal menumbuhkan fenomena perubahan iklim yang dahsyat. Hujan yang lagi tak tentu turunnya, permukaan air samudra yang kian hari kian bertambah saja, macam badai yang menerpa, gempa bumi, kerusakan ozon, ragam penyakit baru, menjelma jadi empedu peradaban proyek rasionalisme yang harus dan mau tak mau dicecap oleh siapapun yang hidup di planet ke-tiga galaksi Bima Sakti, Bumi. Televisi plasma yang terpajang di ruang tamu, telepon seluler seharga Rp20 juta, jam tangan senilai sepuluh ekor kuda ras unggulan, mobil berkecepatan 420 mil/jam, jalan-jalan aspal, pemilihan umum, kebijakan domestic dan luar negeri pemerintah, pada dasarnya diwujudkan manusia dengan mengorbankan masa depan Bumi. Kebiadaban perang dunia pertama dan kedua mendapat aksentuasi baru yang, bisa pula dikata, humanis.

Di depan seni rupa patung perunggu Green Dog, aku melihat sosok anjing hijau dengan sosok yang luar biasa besar, tak wajar. Sosok anjing yang sudah mengalami deformasi. Sosok anjing yang punya gigi tajam bukan main. Sosok anjing hijau yang menjulurkan lidah merahnya, seakan lapar, sangat lapar. Sosok anjing, yang anehnya, punya tubuh licin kilap dan berkilau. Tubuh licin kilap dan berkilau, saya asosiasikan dengan produk-produk pusat perbelanjaan kawasan megalopolitan. Sedang giginya yang tajam bukan main, entah menancap pada tubuh siapa. Mungkin, saya, Zhou, Jim, Sardono, dan Jakobson. Mungkin pula masih ada apa dan siapa yang lainnya. Hobbes mungkin?

Sambil menyantap nasi goreng, semur daging kambing, gado-gado, bihun, udang goreng tepung, saya membaca mozaik Zhou, Jim, Sardono, dan Jakobson. Kultur dan ‘beyond-culture’.

Januari 2008

dvd.tbg

No comments:

Post a Comment