Komunikasi dalam Strukturalisme

Pengantar
Dalam keseharian, dapat dipastikan kita pasti berkomunikasi. Kita menyampaikan pendapat kita atas suatu kasus yang tengah didiskusikan dalam suatu seminar, atau hanya sekadar menanyakan harga suatu barang di pusat perbelanjaan kepada pramuniaga. Bisa pula kita berkomunikasi demi menyampaikan pengalaman kita yang bermakna kepada orang.
Komunikasi merupakan sesuatu yang sangat sentral dalam kehidupan manusia. Sulit untuk membayangkan sebuah kehidupan bersama tanpa adanya suatu komunikasi antar anggota. Kalau pun ada, barangkali kehidupan demikian berjalan sangat menyedihkan. Tidak ada pertukaran ekspresi, tidak ada pertukaran pendapat, tidak ada pertukaran perasaan antar anggota dalam komunitas tersebut.
Berangkat dari posisi vital komunikasi dalam kehidupan, melalui artikel ini penulis hendak menyelidiki bagaimana sesungguhnya strukturalisme memahami tindakan komunikasi. Sistematika tulisan ini dimulai dengan 1) bagian pengantar yang memberi kontekstualisasi permasalahan, 2) pemaparan akan hakikat komunikasi, 3) penjelasan tentang strukturalisme, dan 4) menarik implikasi deduktif dari penjelasan strukturalisme demi melihat tindakan komunikasi dalam strukturalisme.

Komunikasi
Secara sederhana, komunikasi dapat dipahami sebagai dialog. Dialog mengandaikan adanya orang tertentu yang berperan sebagai pembicara dan orang tertentu yang lain yang berperan sebagai pendengar. Dialog tersebut berfungsi menyampaikan pikiran atau perasaan pembicara kepada pendengar dengan mempergunakan bahasa sebagai media transmisi.
Effendi menyatakan bahwa hakikat dari komunikasi adalah pernyataan antarmanusia. Effendi mengidentifikasi tiga unsur utama dalam komunikasi. Ketiga unsur itu adalah orang yang menyampaikan pesan atau komunikator (communicator), pesan (message) itu sendiri dan orang yang menerima pesan atau komunikan (communicate). Pesan terdiri dari dua aspek, (1) isi pesan (the content of message) atau pikiran atau perasaan, kedua lambang (symbol) atau bahasa.[1]
Bagi Ricoeur, komunikasi adalah sebuah keajaiban.[2] Komunikasi pada dasarnya menyampaikan sesuatu yang sesungguhnya tak dapat diungkapkan secara utuh. Pengalaman saya, misalnya, tidak dapat disampaikan secara utuh kepada orang lain. Sekalipun saya telah menyampaikan pengalaman saya kepada orang lain, orang lain yang mendengar tidak akan dapat mengalami pengalaman yang saya sampaikan tersebut secara utuh. Pengalaman sebagai pengalaman tetap tinggal pada diri saya. Apa yang saya sampaikan selalu mengalami defisit dari apa sesungguhnya yang saya alami. Singkatnya, pengalaman saya tidak dapat sepenuhnya dan secara langsung menjadi pengalaman orang lain.[3]
Ricoeur menegaskan bahwa pengalaman sebagai pengalaman yang saya alami tetap adalah domain pribadi, tidak ada seorang pun selain saya yang dapat mengakses pengalaman tersebut. Namun, pengalaman sebagai sesuatu yang diungkapkan, ditransfer kepada orang lain, pengertian, makna, berada pada domain publik.[4]

Strukturalisme
Strukturalisme sebagai aliran pemikiran memiliki akar yang sangat panjang.[5] Pada tulisan ini, penulis membatasi strukturalisme khusus pada pemikiran yang digagas oleh ahli linguistik asal Swiss Ferdinand Mongin de Saussure (1857-1913).
Saussure merupakan founding father strukturalisme di Eropa. Saussure lahir di Geneva pada 26 November 1857. Ia banyak menghabiskan waktu untuk belajar di Jerman. Ia juga sempat mengajar untuk beberapa tahun di Paris. Saussure meninggal pada 1913[6], tepatnya pada 22 Februari. Bukunya yang bertajuk Cours de linguistique générale—berasal dari bahan-bahan perkuliahannya semasa hidup yang kemudian diterbitkan oleh murid-muridnya—yang terbit pada 1915 menginspirasi lahirnya pemikiran strukturalisme. Gagasan mendasar Saussure adalah ia mau menetapkan objek kajian ilmu bahasa yang tetap, yang tidak mengalami perubahan. Gagasan itulah yang tertuang dalam buku Cours de linguistique générale. Buku tersebut menyampaikan argumentasi Saussure bahwa bahasa seharusnya dipelajari tidak hanya dalam term-term bagian-bagian individual dan diakronik dari bahasa, melainkan juga harus dipelajari dalam term-term relasional antar bagian-bagian dan juga secara sinkronik.[7]
Dari sudut pandang epistemik, bahasa dapat pelajari dari dua axis, diakronik dan sinkronik. Fokus studi diakronik atas bahasa adalah perubahan bahasa itu sendiri sejalan dengan waktu. Fokus studi sinkronik atas bahasa adalah ketetapan, keajekan dari bahasa itu sendiri.[8] Normand meringkaskan bahwa studi diakronik bahasa merupakan studi bahasa secara historis, adapun studi sinkronik bahasa merupakan studi atas sistem dari bahasa itu sendiri.[9] Saussure menetapkan bahwa bahasa yang dilihat secara sinkronik itulah yang menjadi kajian ilmu bahasa sesungguhnya.
Pembedaan epistemik antara sinkronik dan diakronik bahasa menurunkan dua konsep baru dalam ilmu bahasa. Dua konsep itu adalah bahasa (langue) dan ujaran (parole). Langue adalah terminologi yang diberikan Saussure bagi objek dari kajian ilmu bahasa sinkronik, totalitas bahasa yang tersimpan dalam ‘kesadaran kolektif’ (collective consciousness).[10] Parole merupakan bahasa dalam penggunaan, ujaran aktual, baik dalam percakapan maupun tulisan.[11] Langue merupakan struktur (structure), parole merupakan peristiwa (event). Sturrock menjelaskan bahwa ‘tanpa peristiwa kita, tak ada jalan bagi kita untuk mengetahui atau menginvestigasi struktur, dan tanpa struktur, maka peristiwa menjadi tak-berbentuk dan tanpa makna: keduanya saling bergantung.’[12]
Pembedaan epistemik itu pun berdampak pada proses pemaknaan. Pemaknaan yang bertitiktolak dari langue diistilahkan sebagai nilai (value). Pemaknaan yang bertitiktolak dari parole diistilahkan sebagai penandaan (signification). Langue dan parole memanifestasikan diri melalui tanda (sign). Tanda itu sendiri terdiri atas dua unsur, (1) penanda (signifier) dan (2) yang ditandai (signified).
Value sebagai proses pemaknaan bahasa sinkronik bekerja melalui relasi-relasi dalam sistem bahasa itu sendiri. Pemaknaan itu berlangsung dengan memperhitungkan dua perbedaan, yaitu (1) perbedaan internal dan (2) perbedaan eksternal. Perbedaan internal mengacu pada perbedaan juktaposisi huruf-huruf penyusun tanda. Misalnya, ‘kuda’ memiliki perbedaan internal dengan ‘aduk’, ‘duka’, ‘audk’, dst. Ada pun perbedaan eksternal merujuk pada perbedaan antara tanda. Misalnya, ‘kuda’ memiliki perbedaan eksternal dengan ‘macan’, ‘presiden’, ‘ombak’, dst.
Signification sebagai proses pemaknaan bahasa diakronik bekerja melalui pengkorelasian antara tanda dengan dunia, memosisikan kata sebagai representasi dari suatu objek tertentu. Misalnya, kata ‘kuda’ merujuk pada binatang mamalia berkaki empat yang dipakai sebagai moda transportasi sebelum manusia menemukan mesin uap. Value merupakan proses pemaknaan yang bekerja tanpa perujukan pada realitas. Signification merupakan proses pemaknaan yang bekerja dengan merujuk pada realitas.[13]
Pendasaran epistemik menempatkan value sebagai proses pemaknaan yang lebih mengungguli signification. Berdasarkan pendasaran epistemik, Saussure menyimpulkan bahwa bahasa yang dikaji secara sinkronik, yakni langue, beserta proses pemaknaannya itulah yang merupakan bahasa sesungguhnya. Sebaliknya, bahasa yang dikaji secara diakronik, yakni parole, beserta proses pemaknaanya tidak termasuk dalam objek ilmu bahasa. Alasannya, tentu saja sesuai dengan ambisi Parmenidean[14] yang melatari gagasan Saussure. Melalui ambisi Parmenidean, yakni langue menempati posisi sebagai episteme atau jalan kebenaran yang selalu tetap, kapan pun dan di mana pun; ada pun parole menempati posisi sebagai doxa atau jalan pendapat yang sering mengalami perubahan. Maka, bahasa adalah masalah ketetapan, keajekan, dan hal tersebut ada pada langue.
Parole sebagai tanda yang masih membutuhkan suatu substansi, dengan demikian bukanlah objek kajian ilmu bahasa. Parole tidak mengandung ketetapan, keajekan. Misalnya saja, binatang mamalia berkaki empat yang dipakai sebagai moda transportasi sebelum manusia menemukan mesin uap, di Indonesia disebut ‘kuda’, ada pun di Inggris disebut ‘horse’. Perbedaan signifier itu menyebabkan parole tidak memiliki landasan epistemik yang kokoh.
Sebagai konsekuensi dari pembedaan kekokohan epistemik, Saussure pun menyatakan bahwa ‘setiap elemen penyusun dari sistem bahasa itu bukanlah substansi, melainkan bentuk.’[15]
Meski begitu, antara langue dan parole bukanlah sesuatu yang sama sekali terpisah. Ricoeur menyatakan bahwa ‘langue adalah kode—atau serangkaian kode-kode—yang hanya dengan berbasis padanya orang tertentu dapat memproduksi parole sebagai pesan tertentu.’[16] Pesan itu individual, kode itu kolektif; pesan itu intesional dan diniatkan oleh seseorang, kode itu anonim dan tidak diniatkan; pesan itu arbitrer atau kontingen, kode itu sistematik.[17]

Komunikasi dalam Strukturalisme
Berdasarkan penjabaran strukturalisme di atas, komunikasi dalam pesan yang disampaikan komunikator dimengerti komunikan dengan merujuk pada niatan komunikator tidak mendapat tempat dalam strukturalisme yang mengedepankan kajian ilmu bahasa sinkronik. Pemahaman bahwa yang disebut bahasa adalah langue menempatkan ujaran berada di luar kajian ilmu bahasa.
Normand berpendapat bahwa strukturalisme tidak memberikan pembicara pengetahuan yang mencukupi akan sistem yang ada di dalam langue yang seharusnya dia ketahui agar dapat mengendalikan ujaran-ujarannya.[18]
Sturrock pun melihat celah dalam hal ini. Dalam Saussureian distingsi antara langue dan parole berarti juga distingsi bahasa sebagai sistem abstrak dan bahasa sebagai instrumen praktikal dalam keseharian.[19] Parole sebagai bahasa dalam keseharian, bahasa sebagaimana dipergunakan membutuhkan agen perantara. Ada pun langue merupakan suatu potensi yang mendukung terwujudnya tindak-berbahasa dari agen tertentu.[20] Dan yang menjadi agen dalam hal ini adalah manusia.[21] Maka, tentunya, secara tak terelakkan komunikasi dalam strukturalisme membutuhkan keberadaan agen di dalam sistem. Di dalam sistem tersebut, agen memiliki kebebasan, bukan pada tingkatan gramatikal, melainkan pada tingkatan sintaksis. Agen mempergunakan kebebasan sintaksis yang dimiliki untuk membentuk kalimat.[22] Sturrock menyimpulkan bahwa ‘subjek dari strukturalis: agen yang diapropriasi oleh aturan-aturan tertentu, tetapi masih memiliki kebebasan tertentu di dalam aturan tersebut.’[23] Penjelasan Sturrock bertitiktolak pada keberadaan komunikator sebagai agen.
Dari sudut pemaknaan, komunikasi dalam strukturalisme pun mengalami hal yang hampir sama. Penekanan pada value menghilangkan dimensi signification dari bahasa. Value bertitiktolak dari struktur, tanda pada dirinya sendiri, sinkronik, sesungguhnya berbasiskan kata (word). Kajian atas value dikenal sebagai semiotika. Strukturalisme Saussureian lebih menekankan kajian semiotika atas bahasa. Kajian signification pada strukturalisme, secara relatif, dapat dinyatakan tidak mendapat tempat. Signification bertitiktolak dari peristiwa, tanda di luar dirinya sendiri, diakronik, yang berbasiskan kalimat tidak mendapat tempat. Kajian atas signification dikenal sebagai semantika.

Kesimpulan
Komunikasi dalam strukturalisme, dalam batasan-batasan tertentu, masih memiliki tempat. Komunikator hanya memiliki peran dan kebebasan yang sangat terbatas dalam proses pemaknaan serta komunikator pun masih disubordinasi oleh sistem, yakni langue. Dari sudut pemaknaan, pesan yang disampaikan oleh komunikator dalam situasi ekstrem tidak lagi dapat dikontrol. Misalnya saja, frase ‘cicak-buaya’ yang dikeluarkan mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji mendapat pemaknaan, yang bisa jadi, tidak sesuai dengan yang ia niatkan.
Merujuk pada Ricoeur, dapat diajukan kritik bahwa strukturalisme telah menggeser pengertian dari bahasa itu sendiri. Bahasa yang seharusnya tampil sebagai jembatan antara pikiran dan benda-benda,[24] malah lebih asyik hidup di dunia bahasa itu sendiri, yakni sebagai tanda. Ketika ini terjadi, secara relatif dapat dinyatakan tidak lagi memiliki peran. Akibatnya, komunikasi sebagai tindakan menyampaikan pesan sebagaimana yang diniatkan oleh komunikator kepada komunikan menjadi tidak berjalan.




Daftar Pustaka

Bertens, Kees, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Effendi, Onong Uchjana, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Hawkes, Terrence, Structuralism and Semiotics, London: Routledge, 2003.
Normand, Claudine, “System, arbitrariness, value” dalam C. Sanders (ed), The Cambridge Companion To Saussure, Cambridge: Cambridge University Press, 2004.
Ricoeur, Paul, Interpretation Theory: Discourse and The Surplus Of Meaning, Forth Worth: Texas Christian University, 1976.
Sturrock, Jhon, Structuralism, USA: Blackwell Publishing, 2003.

[1] Effendi, Onong Uchjana, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hal.28.
[2] Ricoeur, Paul, Interpretation Theory: Discourse and The Surplus Of Meaning, Forth Worth: Texas Christian University, 1976, hal.15. Karena mengada-bersama, sebagai kondisi eksistensial yang memungkinkan dari strukturasi diskursus apa pun, tampil sebagai suatu tindakan pendobrakan atas situasi kesunyian dan kesendirian fundamental dari manusia. (“Because being-together, as the existensial condition for the possibility of any dialogical structure of discourse, appears as a way of trespassing or overcoming the fundamental solitude of each human being.”)
[3] Ricoeur, Paul, Interpretation Theory: Discourse and The Surplus Of Meaning, Forth Worth: Texas Christian University, 1976, hal.15.
[4] Ibid., hal.15.
[5] Hawkes, Terrence, Structuralism and Semiotics, London: Routledge, 2003, hal.1-5.
[6] Sturrock, Jhon, Structuralism, USA: Blackwell Publishing, 2003, hal.26-7.

[7] Hawkes, Terrence, Structuralism and Semiotics, London: Routledge, 2003, hal.8-9.
[8] Sturrock, Jhon, Structuralism, USA: Blackwell Publishing, 2003, hal.28.
[9] Normand, Claudine, “System, arbitrariness, value” dalam C. Sanders (ed), The Cambridge Companion To Saussure, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, hal..91.
[10] Sturrock, Jhon, Structuralism, USA: Blackwell Publishing, 2003 hal.30.
[11]Ibid., hal.30.
[12]Ibid., hal.31 “Without the events there would be no way in which we could know of or investigate the structure, and without the structure the event would be formless and without meaning: the two are wholly interdependent.”

[13] Ibid., hal.38-9.
[14] Bdk. Bertens, Kees, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hal.58-61.
[15] Sturrock, Jhon, Structuralism, USA: Blackwell Publishing, 2003, hal.38.
[16] Ricoeur, Paul, Interpretation Theory: Discourse and The Surplus Of Meaning, Forth Worth: Texas Christian University, 1976, hal.3. “Langue is the code—or the set of the codes—on the basis of which a particular speaker produces parole as a particular message.”
[17] Ibid., hal.3.
[18] Normand, Claudine, “System, arbitrariness, value” dalam C. Sanders (ed), The Cambridge Companion To Saussure, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, hal.90. “For instance, speakers have no awareness of the major part of these rules which are supposed to govern their speech.”
[19] Sturrock, Jhon, Structuralism, USA: Blackwell Publishing, 2003 hal.146.
[20] Ibid.,hal.146.
[21] Ibid., hal.146.
[22] Ibid., hal.146
[23] Ibid., hal.146. “This might be taken as the model for any Structuralist subject: an agent bound by the appropriate rules but free to function distinctively within them.”
[24] Ricoeur, Paul, Interpretation Theory: Discourse and The Surplus Of Meaning, Forth Worth: Texas Christian University, 1976, hal.6.

No comments:

Post a Comment