TENTANG KOMEDI YANG BERSEMBUNYI DALAM HAL-HAL BUSYET DAH

Hal Busyet Pendahuluan.
Sejak akhir tahun 2009 lalu, semenjak saya membaca buku Theory of Interpretation karangan Paul Ricoeur—yang hingga sekarang masih saja sulit saya pahami—diikuti dengan perbincangan imajiner saya dengan seorang tokoh berusia 100 tahun penguasa Jurus Tanpa Bentuk di Yawabhumi[1]; mendadak saya dikejutkan dengan peristiwa dekonstruksi sel tahanan Artalyta Suryani di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Untuk sejenak, saya mencoba memikirkan bagaimana kiranya Nietzche menerapkan metode genealoginya untuk membaca serangkai teks yang memiuh dalam ratusan juta pesawat televisi yang ada di sebuah teritori archipelago khatulistiwa planet ketiga galaksi Bimasakti, namanya: Bumi, yang dalam pembahasaan filosofis dari perguruan fenomenologi Husserl harus dikenali sebagai dunia prareflektif, penentu eksistensi kodrati dari pengada yang secara metafisis dikenali sebagai manusia.
“Pansus Century adalah suatu dekonstruksi, jika engkau mau membacanya dengan cara yang demikian,” kata Der- - - mengikuti ucapan seorang presiden yang menduduki tahta dengan cara tak lazim, yakni melalui pencetakan serangkaian kalimat-kalimat dalam bentuknya yang paling tidak familiar di dalam telinga serta pikiran pembaca (publik mengenalinya sebagai sajak, tetapi seorang lelaki berkacamata dengan cangklong di bibir kadung mengenali setiap ekspresi adalah representasi libido bawahsadar yang sudah disublimasi, disublimasi, disublimasi, disublimasi,…..) …ya, maksud si saya adalah Derrida.
“Aku tak sependapat. Menurutku pansus century adalah pertunjukkan teater kontemporer, yang paling mutakhir, yang menggabungkan teater tradisi semisal wayang orang, mulai dari varian paling adi luhung hingga muncul dalam dagelan seperti yang dipentaskan oleh Srimulat, ada juga unsur opera yang dikombinasikan dengan alam realismenya Stanislavski berbumbukan corak ‘teater tubuh’ yang mengambil genre absurditas ala—kenapa bukan a-do, a-re, a-mi, a-fa, a-sol, a-la, a-si [tampaknya perlu kajian serius apophasis[2] Zizekian]—Beckett,” ucap perempuan yang menghayati seni pernafasan bukan sebagai sarana untuk memperpanjang hidup atau mempersehat tubuh, melainkan untuk menyelami bagaimana rasanya berada di alam yang melampaui alam kasat mata serta takkasat mata.

Hal Busyet Budiman.
Ada dua hukum di dunia ini. Hukum tertulis dan hukum taktertulis.[3] “Kalau sampai di sini, kita bicara teks,” tegas seorang lelaki berambut dread-lock yang menyimpan gitar bas elektrik dalam pita suaranya sembari menguarkan harum //mawar melati//semuanya indah[4] dari mulutnya tanpa mengikutsertakan bapak pegang tongkat//ibu pegang sapu. Hukum tertulis adalah teks. Hukum taktertulis adalah seks [ups, tampaknya bagi mereka yang belum tergolong akil baliq (apakah pakai ‘q’ atau pakai ‘k’ atau malah pakai ‘g’ atau malah pakai ‘iks’) seharusnya membaca artikel ini dengan bantuan pengawasan orang tua; dunia tulisan tidak begitu akrab dengan sensor-sensoran sebagaimana dunia pertele-tele-televisi-an hingga layar-layar-layar bioskop-an; dunia tulisan mengakrabi penghancuran berupa pembakaran, pelarangan beredar, sebagaimana yang sekarang ini hendak dilakukan Kejaksaaan –tit…. tit… tit………………….. atas buku karangan sebuah bunga, Maawr.] maksud penulis, yang telah disalahmengerti oleh metapenulis selaku penulis yang sebenarnya menulis artikel ini, sebab metapenulis adalah agensi dari penulis, dan dengan demikian yang mati adalah: metapenulis, bukan penulis. “Maaf pembaca yang budiman, saya David Tobing, agak sulit bertanggungjawab sepenuhnya atas tulisan yang sepenuhnya berada dibawah kendali metapenulis, sebab apa yang saya maksudkan sesungguhnya adalah…,” tiba-tiba metapenulis hadir dan menginterupsi pemberitahuan David Tobing. “Siapa yang mengijinkan Anda masuk ke dalam dunia tulisan yang tengah aku tulis. Tidak seorang pun dapat masuk ke dunia tulisan tanpa izin dari saya. Dan izin tersebut harus Anda dapatkan dari saya apabila Anda mengetahui birokrasi formalisme kritik sastra yang mewajibkan adanya analisis struktural atas pertemuan subjek dan objek, yang tak mengikutsertakan aspek temporalitas, partikularitas. Apakah Anda memiliki izin tersebut? Kalau Anda hanya ingin merusak permainan di dunia saya, METAPENULIS, saya pikir Anda harus angkat kaki, sebab permainan atas dunia saya hanya dapat dilakukan di dunia di luar dunia saya. Ya, di luar dunia sayalah ada teks sejati, sebuah teks di mana segala klarifikasi hanya dikenali sebagai modus penipuan ala 373 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.”
Hukum tertulis adalah teks. Hukum taktertulis adalah tuturan, ujaran, asbda, (maksud: s-a-b-d-a). Tiba-tiba, kilat menyambar-nyambar di luar kamar pembaca yang berada di lantai 303, kartu-kartu remi berhamburan ke lantai, hujan turun menderas, angin menghantam segala yang menghadang, mulai dari baliho bergambar presiden, spanduk seruan berdamai (juga kecaman) dari kelompok massa yang terinstitusi untuk berdiri di belakang kepentingan politik tertentu, semuanya rubuh, roboh. “Kita mengenali alam dengan mitos, untuk kemudian merestorasinya melalui logos.” Alamakjang. Sosok lelaki [kenapa teramat sering laki-laki muncul dalam tulisan ini? kalau begitu ada baiknya diganti…] Sosok perempuan bernama Nola P.T membicarakan ajaran gurunya yang tak bernama lengkap, hanya bernama panggilan: S. Metha [anekdot: Kalau dibahasajawakan jangan-jangan malah menjadi ‘Slamet’.] Setelah mengucapkan “Kita mengenali alam dengan mitos, untuk kemudian merestorasinya melalui logos,” perempuan itu pun menghilang.

Hal Busyet Keharmonisan Rumah Bersama.
Tahun 1800-an. Sebuah rumah di masa seorang lelaki telah terbukti melakukan hubungan badan sebelum meriah pernikahan digelar. Istrinya marah-marah kepada lelaki itu, sebab si istri baru mengetahui bahwa suaminya telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama, tetapi direstui oleh hasrat, nafsu alamiah. (Kalimat berikut enaknya dibaca sambil membayangkan wajah si istri yang marah-marah, matanya hampir keluar, mukanya merah, nafasnya berkejar-kejar, memburu, jangan lupa ada sorot kebencian di dalam matanya, tangannya membentuk cakar, karena nafasnya memburu-buru, dadanya naik-turun begitu cepat, dan jangan lupa pula: nadanya memekik tinggi hingga terdengar oleh orang-orang yang berada di lantai 303 yang berlatarkan sambaran kilat tadi) “Bebedah [maaf pembacah, maksudnya: Bedebah, harap jangan tertawa, sebab situasi yang hendak saya lukiskan adalah mirip-mirip tragedi, bukan komedi][5] Bajingan. Kau penipu. Bajingan. Seharusnya Tuhan mengutukmu menjadi salah seorang pengikut Lucifer, setan paling dinista di antara segala setan para bajingan. Bertahun-tahun kau mempelajari kecemerlangan Logos hanya demi menutupi perilaku yang bangsat, kau bajingan. Logos yang kau dengungkan adalah mitos tipu daya untuk menyelubungi niat dan laku bejat yang kau perbuat. Tapi, tapi, aletheia itu akan datang. Ketersingkapan kebenaran tidak bisa kau pungkiri. Sekarang, aku perintahkan kau pergi dari rumah ini kutu kupret.”
Lelaki yang disebut bajingan itu pun pergi. Barangkali karena ia memang bajingan dan mengakui bahwa dirinya adalah bajingan. Sebab, adakah alasan yang lebih masuk akal untuk menjelaskan kepergiannya? Bukankah dengan kepergiannya, lelaki itu membenarkan segala kata ganti yang dilekatkan pada dirinya, untuk kemudian menerima perintah dari istrinya, perempuan yang telah dia bohongi? [Tidak ada seorang pun yang dapat membohongi perempuan, kecuali ia seorang pembohong. ‘ia’ yang dimaksud dalam konteks ini adalah si perempuan, bukan yang lain.] Sepeninggalan lelaki bajingan yang pergi melangkah keluar rumah dan berjalan di tengah derasnya hujan, sambaran-sambaran kilat (ketika itu, Thomas Alfa Edison entah berada di mana. Saya tidak tahu, apakah ada yang tahu? “Oi, turun dulu, makanan sudah siap. Kau makanlah dulu.”) angin kencang, si perempuan yang bernama Puan Putri Mekar Mewangi Sepanjang Abad Hingga Akhir Nanti masuk ke dalam kamar, lalu menulis di atas secarik kertas:

Sebagaimana Logos menciptakan Mitos, begitulah sesungguhnya Mitos mengembalikan Logos. Inilah pengalamanku.

Tertanda,
Puan Putri Mekar Mewangi Sepanjang Abad Hingga Akhir Nanti


Logos dan Mitos.
Paradigma strukturalitas yang juga berakar pada psikoanalisis Freudian tampaknya masih bisa dipergunakan untuk menganalisis pertautan antara Logos dan Mitos. Sebuah strukturalitas, yang juga berakar pada pendekatan kajian politik-ekonomi Marxian dalam hierarki struktural antara suprastruktur dan basis. Ah, kalau kita mau menarik lebih jauh [“Ah, sedang ngapain kau di dalam kamar. Keluarlah dulu. Kita kumpul-kumpul sebentar.”]

Hal Khusus Dari Telinga Yang Mengintip.
“Aku tak percaya.”
“Sudahlah, tak perlu lagi kita berdebat. Aku pikir sudah jelas.”
“Sudah berkali-kali kubilangin ke dia. Entahlah, dia tampaknya lebih yakin dengan apa yang dia pikir benar, padahal segala pertimbangan yang kami sampaikan menyatakan hal sebaliknya.”
“Siapa sih yang tak terpesona dengan kecerdasannya, apalagi wajahnya yang tampan.”
“Saya tidak bisa menjawab hal itu dengan tuntas. Tetapi, memang hal ini bukan bidang saya secara spesifik. Saya mengkaji ini lebih dikarenakan saya menyenanginya. Saya menyukai puisi, saya menyukai metafora. Memang, adalah aneh untuk berpikir, katakanlah, ‘Kalau memang dapat dikatakan dengan sebenarnya, apa adanya, lantas buat apa kita bermetafora? Apakah hanya mencari sensasi belaka? Apakah keindahan itu adalah sarana yang paling tepat untuk menyampaikan makna? Atau, jangan-jangan kebenaran itu hanyalah sebersit cahaya yang memancar dari keindahan? Atau, keindahan itu adalah kebenaran yang ilutif, kebenaran yang emosional, kebenaran yang belum merupakan episteme?’ Memang, ada banyak sekali hal yang dapat dipertanyakan, atau pun, kalau memang ada yang mau, dapat juga untuk digugat. Tetapi, pada akhirnya realitas bahwasanya ada, meminjam dari khasanah pengetahuan astronomi sekarang, lubang hitam dalam bahasa perlu untuk direnungkan lebih lanjut.”
“Dekonstruksi saja.”
Dia hanya tersenyum. Manis sekali.
“Oh…, Patrick…”
“Ini urusan gua. Orang lain tak perlu tahu. Dan, sekali lagi, gua bilang ke elu, ini bukan masalah kebenaran yang harus elu ungkapkan ke publik. Anjing lu!”
Suara saksofon. Miles Davis tengah berduet dengan Jhon Lee Hooker, adapun Rendra masih berada di Iowa untuk menyerap atmosfir blues demi menuliskan sajak Bonnie yang merayap dalam sejarah kelam kapitalisnya Amerika.
“Sedikit banyak memang berhubungan. Coba kita perhatikan kembali,”
Suprastruktur. Basis. Logos diparalelkan dengan suprastruktur. Mitos diparalelkan dengan basis. Sebaliknya pun dapat dilakukan. Konsekuensi dari pendekatan strukturalis begini, ada anasir tertentu yang berperan sebagai pelakon subversif atas yang telah mapan. Dalam strukturisasi Logos/Mitos, maka mitos berupaya mensubversi logos. Dalam strukturisasi Mitos/Logos, maka logos berupaya mensubversi mitos. Tidak jauh berbeda dengan mekanisasi yang berlangsung dalam kesadaran Freudian.
“Sudah malam.” (Apakah Anda belum mengantuk?)
“Kalau belum, bacalah dulu Senja Di Pelabuhan Kecil[6].”
[1] Ajidarma, Seno Gumira, Nagabumi I, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.
[2] Myers, Tony, Slavoj Žižek, London: Routledge, 2003, hal.3. “There is a rhetorical figure which approximates to this disavowal called apophasis. Apophasis is the device of mentioning a subject by saying you will not mention it-for example, 'under no circumstances will I be drawn to discuss the minister's infidelity'. Apophasis thus articulates a kind of hole in a discourse. By saying you will not mention something, you trace the contours of what you will not mention.”
[3] Merujuk pada pernyataan Arswendo Atmowiloto saat menjadi narasumber dalam acara DEMOCRAZY di MetroTV paska terbongkarnya sel tahanan istimewa milik Artalyta Suryani alias Ayin.
[4] Lagu anak-anak. Saya lupa judulnya. Mohon maaf.
[5] Hal yang menyebalkan. Tetapi, dalam penulisan, komentar-komentar begini perlu diperhitungkan. Alasannya: membuka celah kreatifitas.
[6] Salah satu sajak Chairil Anwar

No comments:

Post a Comment