Ya, sebuah politik. Cinta dan matilah!


Saya masih tetap yakin, politik adalah sesuatu yang menyebal dan tak terelakkan. Atas hal yang menyebalkan, kreatifitas timbul untuk menempatkan politik sebagai inspirasi yang melahirkan anekdot, dagelan, suatu kegembiraan yang magis meski miris. Sebagai ihwal yang tak terelakkan, politik menempatkan warga negara sebagai mahluk-mahluk tolol dan ironik.

Pemaknaan politik yang demikian lazim mendenyut dalam kehidupan orang-orang, misalnya saja saya, yang melihat politik di zaman post-capitalism sebagai sampah dan sampah dan sampah. Aih, betapa sialnya saya. Sungguh suatu kesialan yang tak terelakkan. Sebab, begitu industrialisasi politik mulai diberlakukan, produk-produk politik hadir sebagai komoditas yang siap diperjualbelikan di pasar.

Saya, dari sudut pandang industri politik, adalah bagian dari pasar yang harus ditaklukkan. Ya, hati saya ingin bilang: “Tidak!” Jika saya mengucapkan demikian, industri politik bakal berkata: “Tidakkah kau lihat apa yang pernah terjadi di Myanmar juga yang tengah terjadi di Thailand. Para pemuka agama yang biasanya hidup asketis pun masih peduli dengan politik. Terserah apa yang mereka maknai dari kata itu.”

Akhirnya, memang politik tidak hanya ditentukan oleh saya. Ada industri politik atau sekelompok elit yang punya cara pandang lain, bahkan pemaknaan yang berbeda atas politik. Jika saya yakin bahwa politik menyebalkan dan tak terelakkan, industri politik mempercayai politik sebagai menyenangkan dan—di sini, semakin siallah saya—tak terelakkan. Sebagai hal yang menyenangkan, politik berakar pada hasrat—kalau sakral kita bilang: Passion, jika profan kita ucap: Libido. Maaf, untuk sementara saya harus membuang passion.

Mari bicara soal libido. Sigmund Freud memang bukanlah CEO di majalah Playboy atau Penthouse. Ia, barangkali, tak pernah berobsesi mendirikan majalah yang secara nyata mengeksploitasi seks dan seksualitas. Freud cuma meneliti bahwa kesadaran manusia begitu rapuh. Kesadaran manusia—yang diklaim Descartes sebagai satu-satunya dalil ontologis keberadaan manusia—bukan sesuatu yang tanpa cacat. Kesadaran manusia, seturut hasil penyelidikan Freud, ditopang oleh alam bawah sadar. Alam bawah sadar merupakan alam yang berada di luar kendali ego sepenuhnya.

Politik dalam konteks individu-personal adalah kolaborasi antara libido dan ego. Namun, politik sebagai sesuatu yang menyebalkan dan tak terelakkan (versi saya) atau politik sebagai sesuatu yang menyenangkan dan—di sini, semakin siallah saya—tak terelakkan (versi industri politik) sebagai ekspresi dari peradaban. Jika yang pertama kita istilah sebagai ‘mikropolitik’; maka yang terakhir kita istilah sebagai ‘makropolitik’. Pada tingkatan makropolitik, politik adalah kolaborasi antara eros dan thanatos!

Di sini—selayaknya seorang jahanam yang beroleh kebijaksanaan—saya dapat mengaksentuasikan pemaknaan lain atas politik. Keyakinan saya bahwa politik menyebalkan dan tak terelakkan adalah manifestasi wajah thanatos politik. Ada pun kepercayaan industri politik bahwa politik menyenangkan dan (juga) tak terelakkan merupakan manifes wajah eros politik.

Kesimpulannya: politik adalah sesuatu yang tak terelakkan. Sebabnya, Tarzan hanya ada dalam cerita-cerita fiksi. Dan sesungguhnya yang tak terelakkan adalah eros dan thanatos. Barangkali saja saya membunuh politik demi suatu cinta; barangkali juga industri politik mencintai politik demi suatu kehendak membunuh. Saya tak ingin meneruskannya. (Ya, sebuah politik. Cinta dan matilah!)

No comments:

Post a Comment