PEMAKZULAN ABIMANYU


Pada awalnya, politik adalah soal kekuasaan sekaligus kejatuhan. Kedengaran sarkastik barangkali. Tetapi, adalah tolol juga bila omong politik semata soal kuasa tanpa kejatuhan. Jika kebijaksanaan masih ada, pilihan masuk dunia politik tentunya harus disertai dengan sikap batin yang berani. Berani adalah sikap batin yang berada di antara kutub nekat dan kecut.[1]

Bicara kejatuhan dalam konteks sistem pemerintahan yang demokratis, tentu bicara pemakzulan. Kalau hidup dalam atmosfir kerajaan, kejatuhan dikenali sebagai kepala yang hilang atau terpenggal. Revolusi Perancis hadir sebagai bukti akan keniscayaan kejatuhan dalam politik.

Pemakzulan pasti sosok yang mengerikan. Ia tampil sebagai sebuah gugatan atau malah peneguhan atas suatu kepercayaan. Pada titik ini, nilai sakral manusia mulai unjuk raga. Kejujuran atau kebohongan. Kepercayaan sesungguhnya didukung oleh dua hal, Kejujuran atau kebohongan. Kejujuran adalah kebenaran, kebohongan adalah kesesatan. Pemakzulan adalah gugatan atas kepercayaan yang berfondasikan kebohongan, kesesatan! sekaligus peneguhan atas kepercayaan yang memang berpijak pada kejujuran dan kebenaran! Di sini, sikap berani tidak lagi dikenali semata-mata sebagai nyali, melainkan sudah berwajah: Nyawa. Pemakzulan adalah batas hidup-mati mahluk zoon politikon.

Ketika nyali menjadi Nyawa, maka tak ada alasan untuk mundur dari medan pertempuran. Begitulah, adagium “Berani karena Benar” pun menjadi semangat dalam setiap pertarungan. Dalam dunia politik mutakhir, Mahkamah Konstitusi adalah muara dari rencana pemakzulan. Pilihannya ada dua: 1) kejatuhan yang menjijikkan atau 2) berkibarnya wibawa kekuasaan. Suatu ihwal yang sangat sederhana, tetapi bukanlah perkara mudah. Sekalipun begitu, pertanyaan “Jika engkau tidak bersalah, lantas apa sebab engkau enggan maju melangkah?” amatlah sulit untuk dielakkan. Tiba-tiba, saya hanya melihat: Abimanyu mengundurkan diri! Memang, tidak ada yang mati. Tetapi, masih ada yang berani menjaga harga sebuah diri. Seketika, martabat menjelma Takdir. Di saat genting yang demikian, pemakzulan bukan lagi dikenali sebagai ketukan palu Konstitusi. Ia menjadi sebuah bisikan yang mengabarkan berita duka: Telah mati sebuah kepercayaan serta kesetiaan.

Bagi Abimanyu, politik bukan masalah kekuasaan atau pun kejatuhan. Bagi Abimanyu, politik adalah soal berani jujur dan benar! Bagi Abimanyu, pemakzulan hanyalah ilusi. Pada akhirnya, politik adalah Abimanyu, bukan soal kekuasaan atau masalah kejatuhan.



[1] Kalau saya tak keliru, kebijaksanaan yang menyatakan bahwa ‘Berani berada di antara nekad dan takut’ berasal dari alam pikiran Yunani Kuno. Kalau saya tidak keliru, berasal dari permenungan filosofis Platon.

No comments:

Post a Comment