CATATAN HARIAN CLARK KENT
--diterjemahkan oleh David Tobing--

Hari ini, Minggu, pukul sepuluh malam. Seharian sudah aku berkelana, memburu penjahat di kota Metropolis. Sesungguhnya, tidak banyak yang aku lakukan. Cuma menangkap penjahat! Bayangkan! Padahal kerja begitu sebenarnya pun bisa dilakukan Parman, Parmin atau Pirman. Tak perlulah Superman.
Tapi, karena aku sering menangkap penjahat, orang sekota pun menganggap aku pahlawan. Menganggap aku burung, pesawat hingga akhirnya Superman, aku yang terbang. Hasilnya, banyak orang mengenalku. Singkatnya, aku jadi orang terkenal. (Aku pikir, mereka tidak tahu siapa aku sebenarnya. Dan, aku pun belum tentu mengenal mereka juga 'kan.)
Padahal, aku melakukan semua itu karena hobi. Itu saja. Tidak lebih, bahkan tidak berlebihan aku rasa. Soalnya, aku punya kekuatan. Bisa terbang; bisa bergerak cepat hingga tak terekam kamera; bisa melihat tembus penghalang pandang, juga mengeluarkan sinar laser; bisa membekukan danau cuma dengan menghembuskan udara melalui mulut; bisa mendengar dari kejauhan; bisa mengangkat mobil sampai pesawat; bisa merontokkan tiang baja; bisa menghentikan laju kereta; pokoknya biasa melakukan yang tidak biasa. Padahal, sekali lagi, itu cuma hobi; karena aku tidak tahu kemana hendak kusalurkan kesenanganku itu.

Pertama aku tahu punya kekuatan berlebih, sewaktu umur lima tahun. Saat itu, aku membantu ibu di dapur. Mencuci piring. Biasanya, ibu membutuhkan waktu lima belas menit mencuci piring. Nah, aku cuma butuh dua menit lebih sedikit. Dan, ibuku tercengang. Padahal, menurutku itu biasa; dan ada alasannya. Kalau ibu mencuci piring hingga lima belas menit, itu karena umurnya sudah terbilang tua. Beda dengan aku. Aku masih muda, bahkan bocah. Masih lima tahun. Masih bertenaga. Jadi wajar saja waktu yang kuperlukan pun tak lama. Dua menit lebih sedikit.
Yang kedua, saat aku membantu ayah kerja di ladang. Memagari kandang ayam. (Seingatku, waktu itu aku berusia delapan tahun-an.) Bila ayah membutuhkasn waktu tiga hari untuk memagari kandang ayam, aku cuma butuh sehari. Setelah selesai, ayahku pun terkaget-kaget. Luar biasa, katanya. Padahal, bagiku itu biasa saja. Wajar dong aku bisa menyelesaikannya dalam tempo sehari. Sebab, saat itu masa liburan sekolah. Aku kerja dari pagi hingga senja. Lagian, seluruh bahan sudah tersedia. Terus, aku juga pernah melihat ayah melakukan hal serupa. Jadi, aku tahu harus mulai dari mana, hingga bagaiman. Entah itu memotong bambu atau memaku.
Sejak dua peristiwa itu, aku pun menyadari kelebihan dalam diriku. Ada sesuatu yang luar biasa dalam diriku. Dan, aku pun menjadikannya hobi yang tentunya harus kusalurkan. Hingga, aku menanjak remaja, lalu dewasa.
Bila dulu aku cuma membantu ayah dan ibu, sekarang sudah berbeda cara. Aku tidak mungkin lagi membantu ibu cuci piring di dapur; atau membantu ayah memagari kandang ayam di ladang. Kekuatan luar biasaku pun kupergunakan untuk membantu masyarakat sekitar. Mulai dari teman sekelas sewaktu sekolah, hingga sekarang, rekan sekerja di media. Eh, tak tahunya malah menjadi besar, membantu masyarakat sekota. Malah, bisa jadi membantu negara.
Itulah cikal bakal mengapa aku dijahitkan ibu baju ketat ngepas di badan, warnanya biru bergambar segi lima di bagian dada yang berisi huruf 'S' didalamnya (Huruf yang merujuk pada nama aliasku, bukan ukuran baju.) plus jubah (Aku pikir jubah bukan kata yang tepat untuk menyatakan kain panjang yang menjutai adri pundak hingga betis kakiku; yang entah mengapa orang lalu menyebutnya sayap hingga berakhir dengan kesimpulan yang menyamakan aku dengan burung atau pesawat.) merah. Itu masih ditambah dengan sepatu bot panjang warna merah, juga celana dalam yang kukenakan di luar, pun warna merah. Ibu bilang, dengan mengenakan seperangkat ..., aku menyebutnya 'seragam dinas', aku terlihat gagah. Ya, tak apalah. Lagian, aku suka warna biru, merah dan kuning. Biru mengingatkan aku pada langit, sedang yang merah dan kuning serupa nyala api itu mengingatkan aku pada ayam jago. Dan, setelah bertanya pada ayah, aku akhirnya mengerti mengapa aku menyukai ketiga warna itu.

Kata ayah, aku ditemukan dalam pesawat luar angkasa yang terdampar di ladang dekat kandang ayam. Lalu, pagi hari, aku ditemukan ayah karena aku menangis. Karena tahu tangisan itu berasal dari dalam pesawat luar angkasa yang terdampar, maka dengan segala cara ayah membukanya. Akhirnya, aku pun dikeluarkan, lalu digendongnya. Saat itu, tangisku berhenti. Kata ayah, tangisku berhenti karena melihat langit dan seekor ayam jago. Itulah, karena langit aku suka biru; karena ayam jago aku suka merah dan kuning. Begitulah cerita ayah. (Tapi, kupikir cerita ayah itu berbau fiksi. Aku sebenarnya tak yakin, tapi apa boleh buat. Lagian, aku tak punya rekaman memori akan hal itu.
Coba kau pikir; bisakah kau mempercayai cerita ayahku tentang pesawat luar angkasa yang terdampar di ladang dekat kandang ayam? lalu soal tangisanku yang berhenti karena melihat langit dan ayam jago? Ah, tak masuk akal. Sulit. Meski begitu, aku pasrah menerima. Lagian, aku memang suka warna biru, merah dan kuning. Dan, sebenarnya tak perlu penjelasan mengapa aku suka warna tersebut.)

Jadi, 'seragam dinas' selalu kukenakan saat aku bertugas, tepatnya, saat aku melakukan kesenanganku: Membantu orang lain. Dan, dengan ber-'seragam dinas', aku bisa lebih bebas tanpa ketahuan identitas. Itulah sebabnya mengapa aku tidak mau terkenal. Mengapa? Sebab dengan terkenal, kebebasanku hilang. Aku tidak bisa lagi menyalurkan hobi sesukanya. Aku terikat. Lalu, kalau kupikir lebih lanjut, keterkenalan itu menyebabkan aku selalu merasa dibuntuti. Diikuti. Rumahku pasti diintai. Lalu, wartawan-wartawan pasti datang ke rumahku untuk mewawancarai ayah atau ibuku; bila tidak bisa, mereka bakal mendatangi tetanggaku untuk melakukan hal serupa bahkan lebih luas, mewawancarai para tetanggaku untuk menggali informasi tentang kehidupanku atau keluargaku. (Ini kuketahui karena aku pun seorang reporter media cetak Daily Planet.) Lebih parahnya lagi, bakalan ada orang-orang yang mengantri di depan rumahku, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua, untuk meminta tanda tanganku. Ala.mak..k.k! mengerikan. Kalau seudah begitu, identitasku pasti telanjang; hasilnya, tentu saja kemaluan. Jadi, intinya, sebab aku tidak ingin terkenal adalah soal psikologis saja. Aku malu. Tegasnya, keterkenalan itu pastilah membuatku malu. Ibarat judul plesetan sebuah buku Malu (Aku) Jadi Orang Terkenal*.
Lagian, yang aku kerjakan itu cuma hobi. Dan, karena itu pulalah aku pengen-nya biasa-biasa saja. Tidak terkenal. Cukuplah keterkenalanku itu diketahui sama ayah dan ibuku saja. Tidak usah menenangga, menyekolah, mengota, hingga mendunia. Dan dengan demikian, aku hanya bisa berlaku malu di depan kedua orangtuaku. (Satu lagi, hampir tertinggal, aku masih bisa bermalu-maluan di buku catatan harian ini pula.)


* sebuah plesetan judul buku puisi yang beredar di kota Metropolis, dan penerjemah menemukan kesulitan untuk mengalih-bahasakan judul plesetan tersebut. Sebagai solusi, penerjemah mengalih-bahasakan plesetan judul buku puisi itu--tentu dengan memikirkan persesuaian makna antar kalimat dalam paragraph, antar paragraph dengan paragraph, serta paragraph keseluruhan--dengan memlesetakan judul buku puisi Taufiq Ismail, Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.

No comments:

Post a Comment