CERITA SEBELUM KOPI

Sekarang, mari kita ngobrol sedikit lebih politis.
Begitu kata kau kepadaku, sambil melempar sebuah harian nasional, tertanggal Jumat, 30 Desember 2005.

Cobalah kau baca koran ini.
Sambung kau pula saat aku masih memperhatikan hempasan koran yang belum melepas dari awang-awang.

Lihat! Kau lihat! Harga Pertamax mau diturunkan! Lima ribu empat ratus jadi lima ribu. Ah, taik-lah! Dia mengumpat, bukan kepada aku tapi halaman koran. Tepatnya, berita di harian nasional.

Tapi, masih sih dia mengumpat berita di koran? Pasti ada yang salah. Kalau dia mengumpat, harusnya kepada seseorang. Bukan kepada sesuatu. Berarti itu berita telah menjadi seseorang. Atau itu berita menyimpan seseorang.

Tau ga' lu, alasannya apa? Persaingan usaha. November lalu, perusahaan pertambangan minyak entah dari mana, masuk ke pasar tradisional di negeri kita. Terus, masih bakalan ditambah masuknya perusahaan entah dari mana lagi di bulan ini. Babi ga'!
Begitulah dia mengumpat.

Ya, tampaknya semakin jelas. Dia mengumpat bukan kepada berita yang telah mewujud menjadi seseorang. Tapi, berita yang menyimpan sesuatu. Persaingan usaha.

Kemarin, sebelum menaikkan harga, kita dikasih alasan. Aku bilang dikasih alasan. Itu artinya, terserah kita mau terima atau tidak alasan yang dia kasih. Alasannya, harga di dunia sudah meningkat. Kita harus memindahkan pengelolaan anggaran. Sektor pendidikan dan kesehatan harus diberdayakan. Segala macam taik kucing dilempar. Harga naiklah. Eh, nyatanya..., sebulan berselang stasiun-stasiun baru berdiri. Kuda laut tak lagi sendiri. Anjing ga'!
Begitulah dia mengumpat, menjelaskan persoalan.

Memangnya,ada apa dibalik itu semua. Sepertinya, dia memang mengumpat sesuatu. Bukan seseorang. Aih, mengumpat sesuatu yang tersembunyi dalam berita. Pastilah ada orang-orang yang bersembunyi dalam berita itu. Sebab, mana mungkin manusia mengumpat sesuatu. Pastilah seseorang. Atau, aku yang salah.

Kau harus lebih jeli melihat kawan. Ini jaman sudah politis. Tak ada orang baik di dunia. Artinya, tak ada orang baik di Jakarta. Pasti ada maksud terselubung dibaliknya. Aku bilang terselubung. Kalau sudah terselubung, pasti itu berkaitan dengan 'buruk', 'mencelakakan'. Kau ingat itu.
Begitulah, kali ini tidak begitu jelas bahasanya. Apakah mengumpat atau mengingatkan, atau mengajarkan atau...

Ada apa sih lu? Berita gitu doang dimasalahin. Pake maki-maki lagi. Emang yang lu maki itu ngedengerin. Kalo ngedengerin untung. Kalo ga'. Sama aja bo'ong. Trus, kalo lu ga' setuju, merasa kejanggalan, ngapain ngomong ke gua. Kalo lu mo curhat baru ngomong ke gua.

Ah, kau memang tak mengerti. Bayangkan. Kalau dulu dikasih alasan untuk menyejahterakan, bagaimana hasilnya. Berapa orang kakek-kakek pun nenek-nenek mengantri sampai pingsan! Berapa banyak dana sekolah yang tersalur dengan lancar. Memang aku tak punya data jelas. Tapi, aku merasa dengan masuknya perusahaan pertambangan asing, itu menandakan sesuatu motif yang sangatlah jelas. Kenapa tidak dibilang saja begini misalnya. Kenaikan itu karena beberapa perusahaan asing mau berinvestasi di Indonesia. Nah, masalahnya mereka tidak mau bila harga masih berada dibawah. Haruslah kita naikkan, setara dengan harga dunia. Sebab dengan begitu, saya juga mendapatkan keuntungan. Modal saya kan ada juga di perusahaan itu. Saya bisa bisnis lagi.
Atau alasann lain, kenaikan ini karena tekanan dunia. You, tahulah yang saya maksud. Kalau kita tidak memberikan fasilitas itu, beragam embargo bakalan kita terima. Produk pertanian kita tidak diterima. Tentara kita tidak bisa beli senjata. Pelajar kita tak bisa bersekolah ke sana. Pinjaman uang tidak bisa kita dapatkan. Nah, untuk mencegah dampak seperti itulah maka kita harus mengikuti keinginan mereka. Tentunya, agar keinginan kita pun tercapai pula. Produk pertanian kita diterima. Tentara kita maki kokoh. Ekonomi kita bisa segera pulih. Aku rasa begitu lebih baik. Tak ada yang terselubung.
Begitulah dia berkata-kata.

Begitu saja jadi masalah? Benarkah sebegitu besar? Pfuh, rasanya tak mungkin. Kau terlalu melebih-lebihkan. Masa sih?


Oh..., gua ngerti. Mereka itu bukan curhat lagi. Buat gua, mereka mau naikin apa pun terserah. Yang penting curhat dulu. Curhat harus kita jadikan azas dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara. Ya kaya' kita ini lah....

Kami tertawa, lalu menyeruput kopi hitam, manis dan tentu saja: pahit!

No comments:

Post a Comment