NOTULENSI FRAGMEN 12 DARI GOETHE

Enin : Bode, seniman yang juga penggagas Dokumenta merumuskan Dokumenta sebagai exhibition without form.

FX Harsono : Ada tiga landasan kuratorial (leiftmotifs) Dokumenta 12, 1) Apakah modernitas adalah masa lalu kita?, 2) Apakah masih ada keutamaan hidup setelah hedonisme mendominasi tata nilai kehidupan? Dimanakah seni dalam soal ini?, 3) Apakah pendidikan seni dan estetika sudah mampu memecahkan segala permasalahan dalam kehidupan kita?

FX Harsono : Setelah mengunjungi pameran Dokumenta 12, pertanyaan itu malah tak terjawab, atau bisa dibilang malah terlupa.

Enin : 1) Modernitas memang ada disekitar kita. Permadani, karya seniman permadani, memasukkan modernitas dalam karyanya. Karya permadani yang biasanya berisi hiasan ornament geometrik berubah menjadi lukisan taman. Memang, di pameran Dokumenta tak ada bentuk. Instalasi Relax Only Ghost yang digabung dengan permadani menggambarkan keterpecahan konsep dalam satu ruang pameran. Bahkan, karya lukis abad renaisans pun digabungkan dengan kanvas lukis era modern. 2) Hedonisme lahir dari demokrasi yang membawa kebebasan dan kemanusiaan sebagai nilai paling dasar. 3) Formulasi sederhana pertanyaan itu adalah: apakah demokrasi sebagai sistem nilai masih relevan? Bukankah hedonisme yang merupakan anak kandung demokrasi menampilkan sisi buruknya? Kira-kira begitulah.

FX Harsono : Memang tak mudah.

David Tobing : Bode sebagai penggagas memang cerdas. Exhibition without border! Aku pikir Bode sadar, bentuk dan isi tak bisa dilepas hidup sendiri-sendiri. Setiap seniman pastilah tahu pergulatannya tak lepas dari bentuk dan isi. Dominasi sejarah seni didominasi sejarah perubahan bentuk. Aku pikir inilah yang dasar pikiran Bode, seorang seniman yang kehidupan kreatifitasnya tak bisa pisah dari upaya pengolahan abstraksi-kesadaran (baca: isi) menjadi produk (baca: bentuk). 1) Modernitas memang masih mendefenisikan dirinya. Tak seperti tradisional yang sudah mapan sebagai nilai dan sedang asik-asiknya digugat sistem nilai peradaban kini semisal post-moderisme, feminisme dan lainnya. Bicara ‘Jawa’ sudah masuk konteks tradisional. Sedang ngomong ‘Indonesia’ belum tentu dianggap modern pun ketinggalan zaman. Tradisional dan modern, ternyata nilai yang dilekatkan manusia pada suatu hal. Dan perlu diingat, pelekatan nilai tradisional atau modern pada suatu hal tidaklah berarti menyatakan suatu hal tersebut baik atau buruk. Tradisional dan modern sebagai nilai memang tidak berhubungan langsung dengan baik atau buruk yang juga merupakan sistem nilai. Karena itu, setelah suatu hal diberi nilai (dalam bahasa kecaman bisa juga dikatakan: pelabelan/stereotip) tradisional atau modern, suatu hal tersebut masih harus menjalani serangkaian perenungan lagi yang mengakibat subjek perenung dengan penuh kesadaran dan keikhlasan memberi nilai baik atau buruk. 2) Enin bilang : pertanyaan aslinya dari landasan kuratorial kedua adalah apakah yang dimaksud dengan kehidupan sederhana? Ini sesungguhnya pertanyaan yang tradisional. Cara berpikir tradisional, contohnya Jawa, sangat lekat dengan masalah itu. Irup mampir ngombe misalnya merupakan representasi dari konsep kesederhanaan yang luas luar biasa. Konsep semacam itu tentunya tak mengenal istilah ‘menguasai alam’. Sejak zaman pencerahan hadir di Bumi dengan keagungan rasionalitasnya, manusia memandang alam sudah tak lagi sebagai kekuatan besar yang tak terkendalikan. Laku sub-ordinasi alam terhadap manusia hilang. Manusia adalah super-ordinat alam. Manusia bisa berbuat sesuka apa saja pada alam. [Aku merasa bule-bule di luar sana malah tak mengerti apa itu tradisional. Bentuk konkrit tradisional di tanah bule-bule sana tak ada, tak seperti di Indonesia, bila kita masuk ke Yogyakarta masih bisa melihat orang pakai blangkon dan berkebaya jalan-jalan di Malioboro. Bahkan saya pernah jumpa nenek tua berbusana kebaya menjadi sales promotion girl di salah satu pusat perbelanjaan di Malioboro. Nenek itu berdiri di pintu masuk toko! Konkritisasi tradisional tidak ditemukan di tanah bule-bule. Karena itu, bule-bule pun merumuskan pertanyaan: apakah hidup sederhana, yang lahir sebagai antitesis dari norma hedonisme yang marak menyala di tanah bule-bule.] 3) Enin ngomong apakah demokrasi bisa menawarkan sistem nilai ideal? Tentunya, belum tentu! Tapi sebelum aku jabarkan penjelasan terkait problem begitu, aku terpikat pada proposisi implisit penyetaraan demokrasi dengan sistem nilai. Penyetaraan itu berarti memandang demokrasi sebagai kebudayaan, tepatnya produk kebudayaan. Ini luar biasa! Demokrasi sebagai kebudayaan menawarkan dua hal utama, kemanusiaan dan kebebasan. Padahal bila dilihat secara politis belaka, demokrasi tak lain dari pertarungan merebut kekuasaan yang dilengkapi dengan segala macam prosedur seperti pemilihan umum. Aku berpikir, memang demokrasi sebagai sistem nilai bagi peradaban kini masih menghadapi ujian. Misal saja di Myanmar. Junta yang mundur-mundur meski rakyat sudah unjuk rasa mati-mati [bahkan biksu sebagai pengusung nilai-nilai keagamaan pun turun tangan untuk membantu demokasi hidup membangun sistem nilai demokrasi sendiri]. Memang, ada juga yang menyangkut-pautkan India, Cina, dan satu negara lainnya yang aku lupa dalam persoalan pelik gejolak Myanmar. Pendekatan pemikiran dengan melihat tiga negara tersebut justru menimbulkan konflik sendiri di dalam pengembangan demokrasi. Lewat tiga negara, persoalan Myanmar jatuh pada ekonomi. Artinya, ada sistem nilai lain dalam kehidupan yang harus diperhatikan. Sebenarnya, lewat pengejawantahan ini, persoalannya bukanlah lagi demokrasi sebagai sistem nilai masih layak atau tidak, melainkan: bagaimana sesungguhnya menata keselarasan antar segala macam nilai yang ada, demokrasi, ekonomi, agama, Ketuhanan, bahkan militerisme. Produk sampingan lain dari penjabaran pemikiran yang bertolak dari gejolak Myanmar mengarahkan saya pada kesimpulan: demokrasi bukanlah pertanda beradabnya suatu bangsa. Kecuali Cina, penganut komunisme yang berarti otoriter, India dan negara satunya tak angkat suara memecahkan kebuntuan gejolak Myanmar. Padahal sistem pemerintahan di India memilih demokrasi sebagai sistemnya. Ada perwakilan rakyat, ada eksekutif dan ada pula yudikatif. Petanda ini membawa saya pada dugaan bahwa demokrasi masih sebatas pertarungan kekuasaan. Demokrasi belum menjadi kebudayaan. Kemanusiaan dan kebebasan yang menjadi inti terdalam demokrasi tidak mengalir di dalam pembuluh darah di dua negara itu.

Notulen : Ada juga yang mempermasalahkan kok tidak ada satu pun seniman Indonesia di ajang Dokumenta 12. Informasi saja, Dokumenta 12 menghadirkan 500 karya lebih dari 122 seniman di seantero muka Bumi. Seorang yang ada disamping saya berkata, pertanyaan seperti punya kecenderungan narsis. Tiba-tiba muka seorang yang berkata pada saya pucat pasi. “Narsis. Narsis. Ra-sis!” kata dia mendesis di telinga saya. Dia bilang, narsis punya kedekatan emosional dengan rasis lewat pertanyaan ‘kok tidak ada satu pun seniman Indonesia di ajang dunia Dokumenta?’ “Ra-sis-so-nal-lis-me.” Dia mendesis seperti ular di telinga saya. “Nas-sis-si-o-nal-lisme.” Itulah desisan terakhir yang dia di telinga saya. Dia diam sejenak sambil memijat-mijat keningnya, memukul-mukul tengkuk dan ubun-ubun kepala, menunduk bahkan sampai mengantuk-ngantukkan kepala ke tembok batu. “Apakah rasis juga seperti demokrasi? Sama-sama kebudayaan?” katanya di depan muka saya. Saya pun melihat pesawat supersonic, Sputnik, Challengger, Apollo, Pertamina, Petroleum, Menara Eiffel, Monas, The Thinker, Guernica, M-16, rudal Patriot, Jupiter, sarung tinju, televisi, telepon genggam, satelit Palapa, Telkomsel, CNN, Nike, blangkon, merah, pemilu 2009, laser, bom atom, Einstein, gravitasi, emas, kereta api, asap knalpot, jalan aspal, harimau, lampu merah, undang-undang, joglo, Menara BNI ’46, menhir, Pulau Paskah, huruf paku, Piramida, senat, Plato, situs internet, konferensi pers Presiden, bendera, baju mini, sepatu karet, kolam renang, pohon pinus, Gunung Kelud, gempa bumi, tsunami, sumbangan kemanusiaan, kecelakaan lalu lintas, kamar jenazah, Hotel Sultan, White House, Paus Johanes Paulus II, Chairil Anwar, Lelaki Tua dan Laut, Samudera Hindia, kuburan Jeruk Purut, Tongging, Bali, Piala Dunia, Fransesco Totti, gitar elektrik, gambus, B.B King, This Is England, Catfish Blues, boneka kayu, kapak batu, rumah panggung, perahu, kapal selam, kuda nil, mammoth, piano, garpu tala, piring makan, lampu hias, kemeja, serbet, kaos kaki, Phitecantropus, filantropi, api, es, bir Bintang, kecoak, ladam kuda, cermin, di muka dia.

No comments:

Post a Comment