Natal


sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/7/7b/Kim_Ki_Chang.jpg

Demi memahami betapa pentingnya suatu hal, kita perlu memikirkan kondisi sebaliknya. Kurang lebih demikian, apa yang akan terjadi sekiranya hal itu tidak ada? Misal, makanan. Makanan menjadi penting karena kita paham bahwa tanpa makanan kita akan mati. Atau, teman. Teman menjadi penting karena kesendirian adalah bencana. Imajinasikan saja bagaimana kehidupan kita ketika tidak ada orang lain di dunia.

Natal. Lantas, mengapa Natal penting? atau mengapa Natal mesti terjadi? Emang, apa yang akan terjadi ketika Natal itu tidak ada? Apakah, dengan terjadinya Natal, dunia menjadi berbeda? atau malah sama saja? Nilai penting Natal justru muncul ketika kita dapat mengimajinasikan kondisi seperti apa yang bakal terjadi sekiranya Natal itu tidak ada.

Secara historis, dalam tradisi Kristiani, Natal mengacu kepada peristiwa lahirnya seorang anak yang bernama Yesus. Kelahiran Yesus melampaui akal manusia. Ia lahir dari ketiadaan hubungan suami-istri, Ia lahir sebelum pasangan Yusuf dan Maria menikah. Apologet Kristiani abad 20, C.S. Lewis menyatakan bahwa peristiwa kelahiran Yesus atau inkarnasi, Allah menjadi manusia, sebagai Mujizat Agung (the Grand Miracle). Mujizat Agung itu pun hadir sebagai paradoks. Bagaimana mungkin, Allah yang Mahakuasa—tidak ada satu hal pun yang mustahil bagi Dia—bersedia tampil dalam sosok yang tak berdaya, sebagai bayi? Bagaimana mungkin Allah yang Abadi—Ia mendahului sekaligus melampaui waktu—bersedia tunduk dalam waktu temporal, yang fana, yang sementara? Lebih jauh lagi, sebagaimana juga yang dinyatakan Lewis dalam bukunya “Miracle”, Allah yang menjadi manusia itu bersedia memasuki dunia manusia yang ditandai oleh adanya penderitaan dan kematian.

Secara filosofis, kehadiran Natal sebagai peristiwa historis sekaligus paradoksal, dalam tradisi pemikiran Kristiani, membuka kemungkinan baru dalam memahami Allah yang tidak sepenuhnya terpahami. Inkarnasi membuka kemungkinan untuk memahami Allah secara transenden sekaligus imanen, sebagaimana yang dinyatakan teolog Katolik Adrianus Sunarko, OFM. Secara transenden berarti Allah melampaui pikiran manusia, juga kategori-kategori dalam kesadaran manusia. Implikasinya adalah apa yang kita nyatakan tentang Allah secara niscaya mustahil mengandung kebenaran tentang Allah itu sendiri—dalam kata lain, kita hanya dapat mengenali Allah secara negatif. Allah bukan batu, bukan manusia, bukan tumbuhan, dst. Secara imanen berarti Allah terpahami manusia, kategori-kategori manusia dapat dipergunakan untuk memahami Allah. Implikasinya, kita dapat berbicara tentang Allah secara positif, meski hal itu tidak dapat sepenuhnya benar. Allah itu baik, berkuasa, pribadi, dst. Transendensi dan imanensi Allah inilah memungkinkan kita berbicara tentang Allah dalam bahasa analogi. Melalui bahasa analogi, Allah dipahami dalam kerangka kesamaanNya dengan manusia, karena imanensiNya, sekaligus dalam kerangka keberlainanNya dari manusia, karena transendensiNya.

Natal adalah Inkarnasi. Allah menjadi manusia. Pertanyaannya kemudian: mengapa Allah bersedia menjadi manusia? Melalui bukunya Cur Deus Homo, teolog cum filsuf Abad Pertengahan St. Anselmus dari Kanterburi berupaya memberi jawaban. Inkarnasi terjadi karena Allah memiliki misi, yaitu menyelamatkan umat manusia, menebus umat manusia dari dosa. Dalam kitab Kejadian, dikisahkan Adam dan Hawa melakukan kesalahan terhadap Allah dengan cara tidak mematuhi perintahNya. Adam dan Hawa diperintahkan untuk tidak memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, namun mereka malah memakan buah itu. Pelanggaran ini, yang kemudian dikenali sebagai dosa, menempatkan manusia sebagai orang bersalah yang mesti mendapatkan hukuman—dan hukuman itu adalah mati. Ada pertanyaan menarik di sini. Sekiranya hukuman mati itu dilakukan Allah, lantas mengapa manusia masih tetap ada? Para ahli menyimpulkan bahwa kematian yang dialami Adam dan Hawa adalah kematian spiritual, yang kemudian diikuti dengan kematian fisikal. Kematian spiritual adalah kematian yang merusak kodrat manusia sebagai citra Allah (imago Dei).

Konsep kodrat manusia sebagai citra Allah dapat dipahami sebagai berikut. Berbeda dari pemikiran libertarian yang menempatkan manusia sebagai individu atomistis, yang terpisah dari individu dan hal-hal lain; atau pemikiran komunitarian yang menempatkan manusia sebagai bagian dari komunitas; atau pemikiran biologi evolusioner yang menempatkan manusia sebagai hasil evolusi, konsepsi manusia sebagai citra Allah menempatkan manusia (i) sebagai ciptaan dan Allah itu Pencipta, dan (ii) manusia senantiasa berada dalam relasi dengan Allah, orang lain, dunia, dan dirinya. Sebelum berdosa, relasi dengan Allah ditandai oleh sembah, dengan orang lain ditandai oleh solidaritas, dengan dunia atau alam semesta ditandai oleh memelihara atau konservasi, dan dengan diri sendiri ditandai dengan sadar-diri. Setelah berdosa, relasi dengan Allah cerca, dengan orang lain kompetisi, dengan dunia eksploitasi, dan dengan diri lupa-diri. Dalam narasi yang demikian, Inkarnasi menjadi titik awal Misi Allah di dunia, yaitu menebus manusia, memulihkan kodrat manusia sebagai citra Allah yang telah rusak total (total depravity). Misi itu tergenapi ketika Yesus yang lahir pada hari Natal tersalibkan, bangkit pada hari ketiga dan naik ke surga 40 hari kemudian.

Mengapa penebusan itu diperlukan? Penebusan diperlukan karena Allah itu Adil sekaligus Kasih. Karena Allah itu Adil, maka tidak ada kesalahan yang terlalu kecil untuk lolos dari hukuman. Karena Allah itu Kasih, maka tidak ada kesalahan yang terlalu besar untuk tak diampuni. Pribadi Kedua dalam Tritunggal itulah yang menggantikan manusia mendapatkan hukuman Allah sekaligus menunjukkan bahw Allah itu Kasih. Dalam tradisi Kristiani, Penebusan itulah yang dihayati dalam peristiwa Paska, peristiwa kesediaan Sang Putra menjadi silih bagi hukuman yang semestinya ditanggung oleh manusia—dan melalui peristiwa itu juga kodrat manusia sebagai citra Allah pun terpulihkan. Pada saat itulah, secara paradoksal, terwujud keadilan karena kesalahan telah mendapatkan penghukuman dan terwujud juga damai (shalom) karena segala hal menjadi terbaharui sebagaimana kondisi awali.

Natal adalah Inkarnasi yang mengandung Misi. Inkarnasi memungkinkan manusia mengenali Allah secara lain, yaitu sebagai Allah yang transenden sekaligus imanen, Allah yang melampaui sejarah sekaligus berada dalam sejarah. Misi penebusan memungkinkan manusia memperbaharui relasinya dengan Allah, orang lain, dunia, dan diri sendiri. Persis pada dua hal inilah Natal menjadi penting. Demikianlah, dunia tanpa Natal sesungguhnya berbeda dari dunia dengan adanya Natal. Mengutip dari orang yang tidak dikenalnya, padri Katolik Timothy Radcliffe, OP menyatakan kurang lebih begini: Sabda menjadi manusia agar manusia dapat menjadi sabda. Demikianlah: Inkarnasi menjadi bermakna karena ada Misi yang [hendak] dituntaskan.


Selamat menghayati peristiwa Natal. 

No comments:

Post a Comment